Paradigma Pendidikan dan
Implikasinya Terhadap Metode Pembelajaran
Disarikan dari: Membangun Kesadaran Kritis, tulisan Mansour Fakih, Totok Rahardjo dan Roem Topatimasang
Proses pengembangan atau pengorganisasian masyarakat pada dasarnya
adalah proses pembelajaran/pendidikan. Pertanyaannya pembelajaran seperti
apakah yang dapat memberdayakan masyarakat? Untuk itu mari kita simak terkait
dengan Paradigma Pendidikan, Metode Pendidikan serta Implikasi Kesadaran.
A.
Paradigma pendidikan dan
metode pembelajaran
PARADIGMA
:
Sekilas pengertian tentang
Paradigma adalah suatu cara pandang
seseorang dalam melihat persoalan. Sebagai contoh nyata adalah ketika sama-sama
melihat kasus ada anak meninggal yang disebabkan karena demam. Analisis dari
seorang dokter akan mengatakan bahwa anak tersebut meninggal karena terserang
nyamuk demam berdarah. Hal ini bisa saja terjadi perbedaan pandangan dengan
seorang paranormal atau dukun yang mengatakan bahwa anak tersebut meninggal
karena diganggu oleh makhluk halus penunggu pohon. Akan berbeda lagi dengan
analisis seorang pengamat ekonomi politik yang mengatakan bahwa anak tersebut
meninggal karena biaya berobat di rumah sakit mahal sehingga tidak dapat
mengakses sarana kesehatan. Mengapa dalam melihat satu kasus bisa berbeda-beda
pandangannya? Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan paradigma seseorang.
Dari berbagai macam
paradigma yang ada, menurut Anarowit dan Giroux secara substansial sebenarnya
paradigma dapat dikelompokkan menjadi 3 macam. Dari perbedaan paradigma
tersebut berimplikasi pada tingkat kesadaran seseorang. Demikian implikasi
paradigma terhadap tingkat kesadaran seseorang dapat dilihat dalam table di
bawah ini :
Table :
METODOLOGI
PARADIGMA
|
PEDAGOGIS
|
ANDRAGOGIS
|
DIALOGIS
|
KONSERVATIF
|
MAGIS
|
||
LIBERAL
|
NAIF
|
||
KRITIS
|
KRITIS
|
Sumber : Mansour Fakih “Pendidikan Popular
Untuk Rakyat”
Pendekatan konservatif, beranggapan bahwa manusia memang ada dalam kondisi tidak sederajat,
itu sudah merupakan takdir Tuhan. Manusia tidak bisa mempengaruhi dan
memperjuangkan perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung lebih menyalahkan
subyeknya, mereka yang mendrita seperti orang miskin, buta huruf, kaum
tertindas mengalami situasi demikian karena kesalahan mereka sendiri. Menurut
pandangan ini banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu.
Pendekatan liberal; Berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah dalam masyarakat
tetapi pendidikan tidak ada hubungannya dengan persoalan politik, ekonomi dan
sosial. Kaum liberal berusaha memecahkan berbagai masalah yang ada dengan
reformasi ‘kosmetik’, seperti: membangun kelas dan fasilitas baru, memodernkan
pengadaan peralatan sekolah seperti komputer dan laboratorium yang canggih dan sebagainya.
Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yakni suatu pandangan yang
menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan serta
mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial demi menjaga stabilitas
jangka panjang.
Paradigma kritis: Dalam perspektif kritis, urusan
pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap ‘ideologi dominan’ kearah
transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap
kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi
dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Visi pendidikan adalah
melakukan kritik terhadap sistem dominan
sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan
sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis pendidikan harus
mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas
dan kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain tugas utama pendidikan
adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem
dan struktur yang tidak adil.
Untuk menganalisis implikasi ketiga pandangan tersebut terhadap
metodologi pendidikan, bisa meminjam analisis Paulo Freire (1970) dalam membagi
ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi
masyarakat. Meskipun Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun
kerangka analisisnya banyak dipergunakan justru untuk melihat kaitan ideology
dan perubahan sosial. Tema gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu
landasan bahwa pendidikan adalah ‘proses memanusiakan manusia kembali’. Gagasan
ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik,
ekonomi dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘dehumanisasi’.
Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng
proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses
dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan
hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran
manusia menjadi : kesadaran magis (magical
consciousness), kesadaran naïf (naival
conciousness) dan kesadaran kritis (critical
consciousness).
Kaitan Ketiga Kesadaran di
Atas dengan Pendidikan
Pertama kesadaran magis, yakni suatu
kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor
dengan dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu
melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik, kebudayaan. Kesadaran
magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural
maupun supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan. Dalam dunia
pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis
terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif
Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistic. Proses pendidikan model ini
tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap
suatu permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatis menerima ‘kebenaran’ guru,
tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideology dari setiap konsepsi atas
kehidupan masyarakat.
Kedua adalah kesadaran naïf. Keadaan yang
dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi
akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika, kreativitas, need for achievement
dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa
suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat
sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki
budaya ‘membangun’ dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’
adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam
konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan meyakini
bahwa sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan
factor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan
adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bias masuk beradaptasi
dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Ketiga disebut kesadaran kritis.
Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber
masalah. Pendekatan struktural menghindari ‘blaming
the victims’ dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur
dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaan
masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu
mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian
mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta
bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah
menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang
secara fundamental baru dan lebih baik.
B.
Paradigma pendidikan dan
pendekatan pendidikan
Pedagogi vs Andragogi
Knowles (1970) secara sederhana menguraikan perbedaan antara anak-anak
dan orang dewasa dalam belajar sebagai kerangka model pendekatannya. Model
pendekatan pendidikan tersebut diklasifikasikan menjadi dua bentuk pendekatan
yang kontradiktif yakni antara pedagogi dan andragogi. Perbedaan antara kedua
pendidikan tersebut, sesungguhnya tidak semata perbedaan ‘obyek’nya. Pedagogi
sebagai ‘seni mendidik anak’ mendapat pengertian lebih luas dimana suatu proses
pendidikan yang ‘menempatkan obyek pendidikannya sebagai ‘anak-anak’, walaupun
secara biologis mereka sudah termasuk ‘dewasa’. Konsekuensi logis dari
pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai ‘murid’ yang pasif.
Murid sepenuhnya menjadi obyek suatu proses belajar seperti misalnya: guru
menggurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid
tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi dan
seterusnya. Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti
terpenting, sementara murid menjadi bagian pinggiran.
Sebaliknya, andragogi atau pendekatan pendidikan ‘orang dewasa’
merupakan pendekatan yang menempatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Di
balik pengertian ini Knowles ingin menempatkan ‘murid’ sebagai subyek dari
sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan
aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap
bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan
menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah
sebagai ‘fasilitator’, dan bukan menggurui. Oleh karena itu relasi antara
guru-murid bersifat ‘multicommunication’
dan seterusnya.
Sebagai pendekatan andragogi dan pedagogi sering dipergunakan dalam
ketiga paradigma magis, naif dan kritis tersebut. Banyak sekali dijumpai proses
pendidikan yang magis atau naïf, tetapi dilakukan dengan cara andragogy.
Perkawinan antara andragogi dan paradigma magis dan naïf sesungguhnya adalah
menghubungkan dua hal yang kontradiktif.
Pendidikan kritis mensyaratkan penggunaan andragogi sebagai pendekatan
ketimbang pedagogi. Secara prinsipil meletakkan ‘anak didik’ sebagai ‘obyek’
pendidikan adalah problem dehumanisasi. Sebaliknya pendidikan liberal yang
bersifat individualis (blaming the victim)
meskipun digunakan pendekatan andragogi, namun yang terjadi pada dasarnya
adalah menjadikan pendidikan sebagai proses ‘menjinakkan’ untuk menyesuaikan ke
dalam sistem dan struktur yang sudah mapan. ‘Penjinakkan’ sendiri sebenarnya
bukan karakter dari andragogi.
Sebaliknya banyak juga pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan
kesadaran kritis namun dilakukan dengan cara pedagogi ataupun indoktrinasi.
Meskipun materi pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan – persoalan
mendasar tentang sistem dan struktur masyarakat, namun dalam proses
pendidikannya lebih ‘banking concept of
education’ bersifat indoktrinatif dan menindas. Indoktrinasi sendiri adalah
anti-pendidikan dan pembunuhan sikap kritis manusia sehingga bertentangan
dengan hakekat pendidikan kritis yang dilakukan secara pedagogy pada dasarnya
adalah kontradiktif dan anti pendidikan.
Pendidikan untuk Transformasi
Sosial
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini.
Pendidikan liberal adalah menjadi bagian dari globalisasi ekonomi ‘liberal’
kapitalisme. Dalam konteks lokal, paradigma pendidikan liberal telah menjadi
bagian dari sistem developmentalisme, dimana sistem tersebut ditegakkan pada
suatu asumsi bahwa akar ‘underdevelopment’
karena rakyat tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme. Pendidikan harus
membantu peserta didik untuk masuk dalam sistem developmentalisme.
Dengan agenda liberal seperti itu, maka tidak memungkinkan bagi
pendidikan untuk menciptakan ruang (space)
bagi sistem pendidikan untuk secara kritis mempertanyakan tentang :
1.
Struktur ekonomi, politik, ideology, gender,
lingkungan serta hak-hak azasi manusia dan kaitannya dengan posisi pendidikan.
2.
Pendidikan untuk menyadari relasi pengetahuan
sebagai kekuasaan (knowledge/power relation) menjadi bagian dari masalah
demokratrisasi. Tanpa mempertanyakan hal itu, tidak saja pendidikan gagal untuk
menjawab akar permasalahan masyarakat tetapi justru melanggengkannya karena
merupakan bagian pendukung dari kelas, penindasan dan dominasi. Pendidikan
dalam konteks itu tidaklah
menstransformasi struktur dan sistem dominasi, tetapi sekedar menciptakan
agar sistem yang ada berjalan baik. Dengan kata lain pendidikan justru menjadi
bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi.
Dari kerangka paradigma dan pendekatan pendidikan
di atas, maka diperlukan suatu usaha selalu untuk meletakkan pendidikan dalam
proses transformasi dalam keseluruhan sistem perubahan sosial. Setiap usaha
pendidikan perlu melakukan transformasi hubungan antara fasilitator dan peserta
pendidikan. Untuk melakukan transformasi terhadap setiap usaha pendidikan perlu
dilakukan analisis struktural dan menempatkan posisi dimana sesungguhnya lokasi
pemihakan yang jelas, setiap usaha pendidikan sesungguhnya sulit diharapkan
menjadi institusi kritis menuju pada perubahan.
Selain itu, paradigma kritis juga berimplikasi
terhadap metodologi dan pendekatan pendidikan serta proses belajar mengajar
yang diterapkan. Pandangan kritis termasuk melakukan transformasi hubungan
guru-murid dalam perspektif yang
didominasi dan yang mendominasi. Dimana guru menjadi subyek pendidikan dan
pelatihan sementara murid menjadi obyeknya. “Subjection” yang menjadikan murid menjadi obyek pendidikan dalam
perspektif kritis adalah bagian dari problem dehumanisasi. Dengan kata lain
paradigma pendidikan dan pelatihan kritis tidak saja ingin membebaskan dan
mentransformasikan relasi ‘knowledge/power
dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ dan ‘yang dididik’ di dalam diri
pendidikan sendiri.
Pendidikan
Kritis
Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran,
paham dalam pendidikan untuk
pemberdayaan dan pembebasan. Perdebatan mengenai peran pendidikan di lingkungan
teoritisi dan praktik yang merunut paham dan tradisi dari pemikiran kritis
terhadap sistem kapitalisme tradisi pemikiran mereka yang mencita – citakan
perubahan sosial dan structural menuju masyarakat yang adil dan demokratis,
suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan, yakni seperti para penganut
aliran gerakan sosial untuk keadilan maupun golongan penganut paham dan teori
kritik lainnya. Namun, ketika membahas masalah pendidikan dan peranannya dalam
kaitannya dengan perubahan sosial, mereka terbagi menjadi dua aliran menyangkut
pendidikan – apakah pendidikan dapat digunakan sebagai media transformasi
sosial.
Sedikit
Ulasan:
Apa yang kita dapat dari pemahaman diatas? Apakah kita
hanya sekedar mempelajari dan mengetahui saja tanpa mengimplementasikannya ke
dalam kontek kehidupan sehari-hari? Jika kita memiliki semangat untuk melakukan
transformasi sosial, maka jawabnya haruslah YA diterapkan dalam tataran praksis
dan bukan hanya sebagai teori saja. Tetapi jika hanya sekedar sebagai pengetahuan
saja, maka simpan saja di kotak lemari atau dibuang saja di tong sampah tulisan
ini. Dalam proses perkembangannya, manusia menciptakan diri melalui pekerjaan. Dengan
kata lain, faktor ekonomi sangat mempengaruhi faktor-faktor yang lain seperti
bahasa, seni, agama, dll (Herbet Marcuse). Selain factor ekonomi, seperti yang
dikatakan oleh Jurgen Habermas bahwa perkembangan manusia bukan hanya
dipengaruhi oleh factor hubungan produksi yang ekploitatif antara buruh dengan
majikannya atau antara pekerja dengan pimpinannya. Tetapi lebih daripada itu
ada pola hubungan komunikasi antara pekerja dengan pimpinan sangat mempengaruhi
apakah seorang pekerja dalam melakukan semua pekerjaannya mengalami proses
teralienasi atau sangat menikmatinya. Itu sangat tergantung dari pola komunikasi
yang dibangun antara pimpinan dengan para pekerja. Lebih lanjut Habermas
menegaskan, jika factor produksi sebagai factor penentu maka dalam sejarahnya
umat manusia tidak akan pernah terbebas dari keterasingannya. Manusia akan
selalu terasing dari dirinya sendiri karena pertentangan kelas antara pekerja
dengan pimpinannya tidak pernah akan selesai. Pasti didalam sebuah pekerjaan
ada yang diperintah dan ada yang memerintah atau mengorganisasikannya. Lalu bagaimana
implementasi dalam kehidupan sehari-hari? Itu semua tergantung dari pilihan
masing-masing individu. Tetapi ingat: HARUS
KONSISTEN.
Jika memang memilih untuk sampai pada tingkat kesadaran
magis, maka sebagai pimpinan dalam pekerjaan apapun pakai saja
pendekatan pedagogy. Dan jika pendekatan itu yang dipilih, maka harus konsisten.
Artinya tidak perlu mengadakan rapat atau diskusi dengan bawahan atau dengan
pekerja yang levelnya berada dibawahnya. Karena bawahan tidak lebih daripada
sebuah bejana kosong yang harus diisi dengan pengetahuan dari seorang pimpinan.
Untuk itu seorang pimpinan harus memiliki konsep kerja yang jelas serta detail.
Jika pimpinan belum memiliki kerangka kerja serta konsep kerja yang jelas dan
detail, maka pendekatan ini tidak cocok karena masih meminta masukan dan saran
dari para pekerja atau bawahan. Demikian juga bagi para pekerja dalam sebuah
perusahaan, terimalah segala perkataan pimpinan perusahaan sebagai kebenaran
mutlak yang harus dijalankan. Jangan pernah memberikan masukan apapun kepada
pimpinan karena pimpinan tersebut pada dasarnya anti kritik. Selalu menganggap
dirinya adalah yang paling benar sehingga segala masukan dari bawahan walaupun
itu sifatnya membangun tetap dianggap salah atau tidak berguna.
Jika pilihannya adalah sampai pada tingkat kesadaran
naïf atau kesadaran palsu, ini yang harus hati-hati. Kenapa harus
hati-hati? Kesadaran naïf sebenarnya sudah naik satu tingkat daripada kesadaran
magis. Tetapi justru dalam keadaan naik satu tingkat, seorang pimpinan tidak
lagi memakai pendekatan pedagogy, tidak dengan cara-cara feudal ataupun diktator
mengingat kesadaran dari bawahan sudah mulai kritis. Tetapi karena sifat
pimpinan yang agak melunak, justru dimanfaatkan oleh pekerja atau bawahan. Sebagai
contoh: jika tidak ada pimpinan, seorang pekerja bolos dan tidak melakukan
pekerjaannya. Pekerja hanya melakukan pekerjaan jika ada pimpinannya agar
dianggap rajin dan memiliki loyalitas dalam bekerja. Kesadaran naïf ini secara
tidak langsung membentuk mental masyarakat budak yang inlander. Kenapa kondisnya
bisa seperti ini karena pekerja tahu bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses
pekerjaan. Ada proses ekploitasi dari pimpinan namun pekerja tidak berani untuk
mengutarakan pendapatnya. Sehingga pilihan yang diambil pekerja adalah melakukan
pekerjaan jika pada saat ada pimpinannya. Paling maksimal dia melakukan
pekerjaannya hanya pada saat di tempat kerja saja, selebihnya dia tidak mau
melakukan pekerjaannya. Keadaan yang seperti inilah yang dinamakan pseudo rasional konkret yang artinya
bahwa rasionalitas yang sesungguhnya tersembunyi dalam sebuah realitas yang
irasional.
Pilihan
terakhir adalah sampai pada tingkat kesadaran kritis. Dalam tingkat
kesadaran kritis, antara pimpinan dan bawahan terjadi komunikasi yang humanis. Pola
hubungan sudah menjadi hubungan antar sesama manusia dan bukan hubungan antara pimpinan
dengan bawahan. Bukan antara buruh dengan majikan melainkan antara karjo dengan
karso. Hubungan ini terjadi karena saling menyadari bahwa semua mengalami
proses ketergantungan antara satu sama lain. Pimpinan tidak akan dapat bekerja
jika bawahan tidak dapat bekerja dengan baik. Demikian pula sebaliknya bawahan
tidak dapat bekerja dengan baik jika pimpinan tidak dapat bekerja dengan baik
yang sebagai akibatnya perusahaan tidak memiliki keuntungan lebih untuk
menggaji para karyawan. Semua dalam kondisi saling membutuhkan. Pola yang dibangun
biasanya menggunakan pendekatan andragogis dan dialogis. Seorang pimpinan
selalu meminta masukan dari bawahan dengan cara-cara yang humanis, tidak dengan
cara-cara paksaan. Sehingga para bawahan pun senang karena merasa dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan. Karena semua terjadi dalam kondis saling
membutuhkan dan hubungan yang terjadi adalah hubungan manusiawi, maka biasanya pekerja
atau pimpinan dimanapun ia berada, ia selalu memikirkan pekerjaannya. Apakah ia
di kantor atau di rumah atau sedang makan di warung, yang dipikirkan adalah
pekerjaan dan pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini, seorang bawahan atau
seorang pimpinan tidak akan terpengaruh oleh ruang dan waktu. Apakah dia masuk
kerja atau tidak, ia selalu memikirkan pekerjaannya bahkan ditempat tidur pun
ia selalu memikirkan pekerjaannya. Kondisi tingkat kesadaran yang seperti ini
sebenarnya sangat cocok dalam pekerjaan yang bergerak di bidang pemberdayaan. Tetapi
sayang, ini malah justru banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang
justru melanggengkan adanya proses eksploitasi dengan system kapitalismenya. Sebuah
refleksi bagi yang bergerak di bidang pemberdayaan. Pilihan ada pada diri
masing-masing…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar