.

Kamis, 28 Juli 2016

PARADIGMA PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODE PEMBELAJARAN

Paradigma Pendidikan dan
Implikasinya Terhadap Metode Pembelajaran


Disarikan dari: Membangun Kesadaran Kritis,  tulisan  Mansour Fakih, Totok Rahardjo dan Roem Topatimasang

Proses pengembangan atau pengorganisasian masyarakat pada dasarnya adalah proses pembelajaran/pendidikan. Pertanyaannya pembelajaran seperti apakah yang dapat memberdayakan masyarakat? Untuk itu mari kita simak terkait dengan Paradigma Pendidikan, Metode Pendidikan serta Implikasi Kesadaran.


A.       Paradigma pendidikan dan metode pembelajaran
PARADIGMA :
Sekilas pengertian tentang Paradigma adalah suatu cara pandang seseorang dalam melihat persoalan. Sebagai contoh nyata adalah ketika sama-sama melihat kasus ada anak meninggal yang disebabkan karena demam. Analisis dari seorang dokter akan mengatakan bahwa anak tersebut meninggal karena terserang nyamuk demam berdarah. Hal ini bisa saja terjadi perbedaan pandangan dengan seorang paranormal atau dukun yang mengatakan bahwa anak tersebut meninggal karena diganggu oleh makhluk halus penunggu pohon. Akan berbeda lagi dengan analisis seorang pengamat ekonomi politik yang mengatakan bahwa anak tersebut meninggal karena biaya berobat di rumah sakit mahal sehingga tidak dapat mengakses sarana kesehatan. Mengapa dalam melihat satu kasus bisa berbeda-beda pandangannya? Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan paradigma seseorang.
Dari berbagai macam paradigma yang ada, menurut Anarowit dan Giroux secara substansial sebenarnya paradigma dapat dikelompokkan menjadi 3 macam. Dari perbedaan paradigma tersebut berimplikasi pada tingkat kesadaran seseorang. Demikian implikasi paradigma terhadap tingkat kesadaran seseorang dapat dilihat dalam table di bawah ini :
Table :
          METODOLOGI

PARADIGMA
PEDAGOGIS
ANDRAGOGIS
DIALOGIS
KONSERVATIF
MAGIS


LIBERAL

NAIF

KRITIS


KRITIS
Sumber : Mansour Fakih “Pendidikan Popular Untuk Rakyat”

Pendekatan konservatif, beranggapan bahwa manusia memang ada dalam kondisi tidak sederajat, itu sudah merupakan takdir Tuhan. Manusia tidak bisa mempengaruhi dan memperjuangkan perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung lebih menyalahkan subyeknya, mereka yang mendrita seperti orang miskin, buta huruf, kaum tertindas mengalami situasi demikian karena kesalahan mereka sendiri. Menurut pandangan ini banyak orang lain yang ternyata bisa  bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu.
Pendekatan liberal; Berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah dalam masyarakat tetapi pendidikan tidak ada hubungannya dengan persoalan politik, ekonomi dan sosial. Kaum liberal berusaha memecahkan berbagai masalah yang ada dengan reformasi ‘kosmetik’, seperti: membangun kelas dan fasilitas baru, memodernkan pengadaan peralatan  sekolah  seperti komputer  dan laboratorium yang canggih dan sebagainya. Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial demi menjaga stabilitas jangka panjang.
Paradigma kritis:  Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap ‘ideologi dominan’ kearah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Visi pendidikan adalah melakukan  kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Untuk menganalisis implikasi ketiga pandangan tersebut terhadap metodologi pendidikan, bisa meminjam analisis Paulo Freire (1970) dalam membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Meskipun Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun kerangka analisisnya banyak dipergunakan justru untuk melihat kaitan ideology dan perubahan sosial. Tema gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah ‘proses memanusiakan manusia kembali’. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘dehumanisasi’. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi : kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival conciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).

Kaitan Ketiga Kesadaran di Atas dengan Pendidikan
Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik, kebudayaan. Kesadaran magis lebih  melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistic. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatis menerima ‘kebenaran’ guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideology dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Kedua adalah kesadaran naïf. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah  etika, kreativitas, need for achievement dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya ‘membangun’ dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan meyakini bahwa sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan factor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bias masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Ketiga disebut kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari ‘blaming the victims’ dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat  dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.  

B.       Paradigma pendidikan dan pendekatan pendidikan
Pedagogi vs Andragogi
Knowles (1970) secara sederhana menguraikan perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa dalam belajar sebagai kerangka model pendekatannya. Model pendekatan pendidikan tersebut diklasifikasikan menjadi dua bentuk pendekatan yang kontradiktif yakni antara pedagogi dan andragogi. Perbedaan antara kedua pendidikan tersebut, sesungguhnya tidak semata perbedaan ‘obyek’nya. Pedagogi sebagai ‘seni mendidik anak’ mendapat pengertian lebih luas dimana suatu proses pendidikan yang ‘menempatkan obyek pendidikannya sebagai ‘anak-anak’, walaupun secara biologis mereka sudah termasuk ‘dewasa’. Konsekuensi logis dari pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai ‘murid’ yang pasif. Murid sepenuhnya menjadi obyek suatu proses belajar seperti misalnya: guru menggurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi dan seterusnya. Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti terpenting, sementara murid menjadi bagian pinggiran.
Sebaliknya, andragogi atau pendekatan pendidikan ‘orang dewasa’ merupakan pendekatan yang menempatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Di balik pengertian ini Knowles ingin menempatkan ‘murid’ sebagai subyek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai ‘fasilitator’, dan bukan menggurui. Oleh karena itu relasi antara guru-murid bersifat ‘multicommunication’ dan seterusnya.
Sebagai pendekatan andragogi dan pedagogi sering dipergunakan dalam ketiga paradigma magis, naif dan kritis tersebut. Banyak sekali dijumpai proses pendidikan yang magis atau naïf, tetapi dilakukan dengan cara andragogy. Perkawinan antara andragogi dan paradigma magis dan naïf sesungguhnya adalah menghubungkan dua hal yang kontradiktif.
Pendidikan kritis mensyaratkan penggunaan andragogi sebagai pendekatan ketimbang pedagogi. Secara prinsipil meletakkan ‘anak didik’ sebagai ‘obyek’ pendidikan adalah problem dehumanisasi. Sebaliknya pendidikan liberal yang bersifat individualis (blaming the victim) meskipun digunakan pendekatan andragogi, namun yang terjadi pada dasarnya adalah menjadikan pendidikan sebagai proses ‘menjinakkan’ untuk menyesuaikan ke dalam sistem dan struktur yang sudah mapan. ‘Penjinakkan’ sendiri sebenarnya bukan karakter dari andragogi.
Sebaliknya banyak juga pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis namun dilakukan dengan cara pedagogi ataupun indoktrinasi. Meskipun materi pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan – persoalan mendasar tentang sistem dan struktur masyarakat, namun dalam proses pendidikannya lebih ‘banking concept of education’ bersifat indoktrinatif dan menindas. Indoktrinasi sendiri adalah anti-pendidikan dan pembunuhan sikap kritis manusia sehingga bertentangan dengan hakekat pendidikan kritis yang dilakukan secara pedagogy pada dasarnya adalah kontradiktif dan anti pendidikan. 

Pendidikan untuk Transformasi Sosial
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan liberal adalah menjadi bagian dari globalisasi ekonomi ‘liberal’ kapitalisme. Dalam konteks lokal, paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem developmentalisme, dimana sistem tersebut ditegakkan pada suatu asumsi bahwa akar ‘underdevelopment’ karena rakyat tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme. Pendidikan harus membantu peserta didik untuk masuk dalam sistem developmentalisme.
Dengan agenda liberal seperti itu, maka tidak memungkinkan bagi pendidikan untuk menciptakan ruang (space) bagi sistem pendidikan untuk secara kritis mempertanyakan tentang :
1.         Struktur ekonomi, politik, ideology, gender, lingkungan serta hak-hak azasi manusia dan kaitannya dengan posisi pendidikan.
2.        Pendidikan untuk menyadari relasi pengetahuan sebagai kekuasaan (knowledge/power relation) menjadi bagian dari masalah demokratrisasi. Tanpa mempertanyakan hal itu, tidak saja pendidikan gagal untuk menjawab akar permasalahan masyarakat tetapi justru melanggengkannya karena merupakan bagian pendukung dari kelas, penindasan dan dominasi. Pendidikan dalam konteks itu tidaklah  menstransformasi struktur dan sistem dominasi, tetapi sekedar menciptakan agar sistem yang ada berjalan baik. Dengan kata lain pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi.
Dari kerangka paradigma dan pendekatan pendidikan di atas, maka diperlukan suatu usaha selalu untuk meletakkan pendidikan dalam proses transformasi dalam keseluruhan sistem perubahan sosial. Setiap usaha pendidikan perlu melakukan transformasi hubungan antara fasilitator dan peserta pendidikan. Untuk melakukan transformasi terhadap setiap usaha pendidikan perlu dilakukan analisis struktural dan menempatkan posisi dimana sesungguhnya lokasi pemihakan yang jelas, setiap usaha pendidikan sesungguhnya sulit diharapkan menjadi institusi kritis menuju pada perubahan.
Selain itu, paradigma kritis juga berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan pendidikan serta proses belajar mengajar yang diterapkan. Pandangan kritis termasuk melakukan transformasi hubungan guru-murid dalam perspektif  yang didominasi dan yang mendominasi. Dimana guru menjadi subyek pendidikan dan pelatihan sementara murid menjadi obyeknya. “Subjection” yang menjadikan murid menjadi obyek pendidikan dalam perspektif kritis adalah bagian dari problem dehumanisasi. Dengan kata lain paradigma pendidikan dan pelatihan kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan relasi knowledge/power dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ dan ‘yang dididik’ di dalam diri pendidikan sendiri.

Pendidikan Kritis
Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk   pemberdayaan dan pembebasan. Perdebatan mengenai peran pendidikan di lingkungan teoritisi dan praktik yang merunut paham dan tradisi dari pemikiran kritis terhadap sistem kapitalisme tradisi pemikiran mereka yang mencita – citakan perubahan sosial dan structural menuju masyarakat yang adil dan demokratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan, yakni seperti para penganut aliran gerakan sosial untuk keadilan maupun golongan penganut paham dan teori kritik lainnya. Namun, ketika membahas masalah pendidikan dan peranannya dalam kaitannya dengan perubahan sosial, mereka terbagi menjadi dua aliran menyangkut pendidikan – apakah pendidikan dapat digunakan sebagai media transformasi sosial.

Sedikit Ulasan:
Apa yang kita dapat dari pemahaman diatas? Apakah kita hanya sekedar mempelajari dan mengetahui saja tanpa mengimplementasikannya ke dalam kontek kehidupan sehari-hari? Jika kita memiliki semangat untuk melakukan transformasi sosial, maka jawabnya haruslah YA diterapkan dalam tataran praksis dan bukan hanya sebagai teori saja. Tetapi jika hanya sekedar sebagai pengetahuan saja, maka simpan saja di kotak lemari atau dibuang saja di tong sampah tulisan ini. Dalam proses perkembangannya, manusia menciptakan diri melalui pekerjaan. Dengan kata lain, faktor ekonomi sangat mempengaruhi faktor-faktor yang lain seperti bahasa, seni, agama, dll (Herbet Marcuse). Selain factor ekonomi, seperti yang dikatakan oleh Jurgen Habermas bahwa perkembangan manusia bukan hanya dipengaruhi oleh factor hubungan produksi yang ekploitatif antara buruh dengan majikannya atau antara pekerja dengan pimpinannya. Tetapi lebih daripada itu ada pola hubungan komunikasi antara pekerja dengan pimpinan sangat mempengaruhi apakah seorang pekerja dalam melakukan semua pekerjaannya mengalami proses teralienasi atau sangat menikmatinya. Itu sangat tergantung dari pola komunikasi yang dibangun antara pimpinan dengan para pekerja. Lebih lanjut Habermas menegaskan, jika factor produksi sebagai factor penentu maka dalam sejarahnya umat manusia tidak akan pernah terbebas dari keterasingannya. Manusia akan selalu terasing dari dirinya sendiri karena pertentangan kelas antara pekerja dengan pimpinannya tidak pernah akan selesai. Pasti didalam sebuah pekerjaan ada yang diperintah dan ada yang memerintah atau mengorganisasikannya. Lalu bagaimana implementasi dalam kehidupan sehari-hari? Itu semua tergantung dari pilihan masing-masing individu. Tetapi ingat: HARUS KONSISTEN.
Jika memang memilih untuk sampai pada tingkat kesadaran magis, maka sebagai pimpinan dalam pekerjaan apapun pakai saja pendekatan pedagogy. Dan jika pendekatan itu yang dipilih, maka harus konsisten. Artinya tidak perlu mengadakan rapat atau diskusi dengan bawahan atau dengan pekerja yang levelnya berada dibawahnya. Karena bawahan tidak lebih daripada sebuah bejana kosong yang harus diisi dengan pengetahuan dari seorang pimpinan. Untuk itu seorang pimpinan harus memiliki konsep kerja yang jelas serta detail. Jika pimpinan belum memiliki kerangka kerja serta konsep kerja yang jelas dan detail, maka pendekatan ini tidak cocok karena masih meminta masukan dan saran dari para pekerja atau bawahan. Demikian juga bagi para pekerja dalam sebuah perusahaan, terimalah segala perkataan pimpinan perusahaan sebagai kebenaran mutlak yang harus dijalankan. Jangan pernah memberikan masukan apapun kepada pimpinan karena pimpinan tersebut pada dasarnya anti kritik. Selalu menganggap dirinya adalah yang paling benar sehingga segala masukan dari bawahan walaupun itu sifatnya membangun tetap dianggap salah atau tidak berguna.
Jika pilihannya adalah sampai pada tingkat kesadaran naïf atau kesadaran palsu, ini yang harus hati-hati. Kenapa harus hati-hati? Kesadaran naïf sebenarnya sudah naik satu tingkat daripada kesadaran magis. Tetapi justru dalam keadaan naik satu tingkat, seorang pimpinan tidak lagi memakai pendekatan pedagogy, tidak dengan cara-cara feudal ataupun diktator mengingat kesadaran dari bawahan sudah mulai kritis. Tetapi karena sifat pimpinan yang agak melunak, justru dimanfaatkan oleh pekerja atau bawahan. Sebagai contoh: jika tidak ada pimpinan, seorang pekerja bolos dan tidak melakukan pekerjaannya. Pekerja hanya melakukan pekerjaan jika ada pimpinannya agar dianggap rajin dan memiliki loyalitas dalam bekerja. Kesadaran naïf ini secara tidak langsung membentuk mental masyarakat budak yang inlander. Kenapa kondisnya bisa seperti ini karena pekerja tahu bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses pekerjaan. Ada proses ekploitasi dari pimpinan namun pekerja tidak berani untuk mengutarakan pendapatnya. Sehingga pilihan yang diambil pekerja adalah melakukan pekerjaan jika pada saat ada pimpinannya. Paling maksimal dia melakukan pekerjaannya hanya pada saat di tempat kerja saja, selebihnya dia tidak mau melakukan pekerjaannya. Keadaan yang seperti inilah yang dinamakan pseudo rasional konkret yang artinya bahwa rasionalitas yang sesungguhnya tersembunyi dalam sebuah realitas yang irasional.
Pilihan terakhir adalah sampai pada tingkat kesadaran kritis. Dalam tingkat kesadaran kritis, antara pimpinan dan bawahan terjadi komunikasi yang humanis. Pola hubungan sudah menjadi hubungan antar sesama manusia dan bukan hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Bukan antara buruh dengan majikan melainkan antara karjo dengan karso. Hubungan ini terjadi karena saling menyadari bahwa semua mengalami proses ketergantungan antara satu sama lain. Pimpinan tidak akan dapat bekerja jika bawahan tidak dapat bekerja dengan baik. Demikian pula sebaliknya bawahan tidak dapat bekerja dengan baik jika pimpinan tidak dapat bekerja dengan baik yang sebagai akibatnya perusahaan tidak memiliki keuntungan lebih untuk menggaji para karyawan. Semua dalam kondisi saling membutuhkan. Pola yang dibangun biasanya menggunakan pendekatan andragogis dan dialogis. Seorang pimpinan selalu meminta masukan dari bawahan dengan cara-cara yang humanis, tidak dengan cara-cara paksaan. Sehingga para bawahan pun senang karena merasa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Karena semua terjadi dalam kondis saling membutuhkan dan hubungan yang terjadi adalah hubungan manusiawi, maka biasanya pekerja atau pimpinan dimanapun ia berada, ia selalu memikirkan pekerjaannya. Apakah ia di kantor atau di rumah atau sedang makan di warung, yang dipikirkan adalah pekerjaan dan pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini, seorang bawahan atau seorang pimpinan tidak akan terpengaruh oleh ruang dan waktu. Apakah dia masuk kerja atau tidak, ia selalu memikirkan pekerjaannya bahkan ditempat tidur pun ia selalu memikirkan pekerjaannya. Kondisi tingkat kesadaran yang seperti ini sebenarnya sangat cocok dalam pekerjaan yang bergerak di bidang pemberdayaan. Tetapi sayang, ini malah justru banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang justru melanggengkan adanya proses eksploitasi dengan system kapitalismenya. Sebuah refleksi bagi yang bergerak di bidang pemberdayaan. Pilihan ada pada diri masing-masing…





Tidak ada komentar:

Posting Komentar