.

Minggu, 05 November 2017

DANA DESA SWAKELOLA DAN PADAT KARYA (Antara Pemerataan dan Kemandirian Desa dengan Reduksi atas Tata Nilai Yang Ada)

DANA DESA SWAKELOLA DAN PADAT KARYA
(Antara Pemerataan dan Kemandirian Desa dengan Reduksi atas Tata Nilai Yang Ada)



Pernyataan Presiden pada tanggal 3 November yang kemuidian diikuti oleh pernyataan beberapa menteri seperti Menteri Keuangan, Menteri Desa PDTT dan Menteri PMK agak membuat sedikit senam otak. Secara singkat, ada 4 point utama dalam pernyataan diantaranya adalah sebagai berikut:
1.       Padat karya (cash for work), mengurangi angka kemiskinan dan  membuka lapangan kerja digunakan untuk kegiatan infrastruktur yang bersifat jangka pendek.
2.      Diperkuat juga dengan program kementerian di desa, untuk mengembangkan sektor-sektor unggulan yang bisa menjadi motor penggerak perekonomian, membuka lebih banyak lapangan pekerjaan di daerah dan di desa, mulai dari industri kecil- menengah, agrobisnis, budi daya perikanan dan sebagainya.
3.        Sistem pelaporan yang sederhana dengan penguatan sistem kontrol dari BPKP dan dari lembaga pengawasan lainnya.
4.        Reformulasi dari alokasi anggaran Desa sehingga lebih fokus kepada desa yang tertinggal dengan jumlah penduduk miskin yang lebih tinggi


Dari ke empat point diatas, yang perlu untuk didiskusikan adalah point 1 dan point 3, sehingga dalam tulisan ini mencoba membahas point 1 dan point 3. Ada beberapa alas an kenapa point 1 dan point 3 diantaranya adalah:
1.     Terkait swakelola, seolah-olah selama ini desa tidak menerapkan system swakelola. Pada saat desa menunjuk penyedia jasa konstruksi, seolah-olah dianggap salah dan dianggap bukanlah swakelola.
2.       Terkait padat karya, seakan membawa pada romantisme sejarah yang mana padat karya merupakan warisan kultural masa Orde Baru
3.      Penyederhanaan system pelaporan yang dipertentangkan dengan penguatan BPKP dan Lembaga Lainnya dalam pengawasan Dana Desa.

LOGIKA DASAR
Memaknai swakelola secara sempit dan hanya sebatas pada pelaksanaan pekerjaan, sehingga yang muncul adalah bahwa semua pekerjaan tidak boleh dilakukan oleh pihak ketiga. Benarkah swakelola tidak boleh menggunakan pihak ketiga dalam pelaksanaannya? Sebagai tongkat penolong untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita bahas satu per satu. Terkait dengan pelaksanaan pekerjaan dengan cara swakelola maka tidak terlepas dari mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa di Desa. Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Pemerintah Desa, baik dilakukan dengan cara swakelola maupun melalui Penyedia Barang/Jasa. Dilihat dari judul kalimat, menunjukkan bahwa ada dua jenis pengadaan yaitu pengadaan barang dan pengadaan jasa. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfatkan oleh pengguna barang. Pekerjaan Konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Jasa Konsultansi adalah jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir (brainware); Swakelola adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Tim Pengelola Kegiatan.
Meminjam makna swakelola diatas maka pada saat desa tidak dapat membuat barang sendiri, seperti misalnya saja laptop, komputer, semen, besi, batu bata, batu belah, pasir, dll, maka dalam pengadaan barang, desa menggunakan penyedia barang (toko / supplier / laveransir). Kemudian, pada saat desa tidak dapat merencanakan kebutuhan anggaran biaya yang dibutuhkan pada pekerjaan konstruksi, desa menggunakan penyedia jasa konsultasi perencanaan.
Dari dua contoh diatas, kira-kira dalam pengadaan barang/jasa, desa merencanakan dan melakukan sendiri secara swakelola atau menggunakan pihak penyedia barang/jasa? Jika, jawabannya adalah termasuk kategori menggunakan penyedia barang/jasa, lalu dimana letak swakelolanya? Bukankah pada saat desa membeli semua barang-barang atau pada saat desa meminta bantuan jasa perencanaan kepada pihak lain, pada saat itu juga sudah menggunakan penyedia barang/jasa dan sudah tidak lagi swakelola? Tetapi jika jawabannya adalah swakelola dengan alasan bahwa desa merencanakan dan membeli sendiri semua kebutuhan barang-barang/jasa, maka kita juga harus konsisten juga bahwa pada saat desa menggunakan penyedia jasa konstruksi dalam pelaksanaan pekerjaan, maka hal tersebut juga bisa dikatakan sebagai swakelola.
Jadi sekali lagi kita harus konsisten dengan logika berpikir kita dimana, jika desa membeli semua barang yang dibutuhkan dan menunjuk penyedia barang adalah masuk dalam kategori swakelola, jika desa menunjuk/memilih penyedia jasa perencana masuk dalam kategori swakelola, maka menunjuk sendiri penyedia jasa konstruksi adalah dalam kategori swakelola juga.

Lebih sedehananya adalah seperti ini:

Premis 1                  = menunjuk penyedia barang adalah swakelola
Premis 2                  = menunjuk penyedia jasa perencana / jasa konsultasi adalah swakelola

Maka,

Konklusivenya          = menunjuk penyedia jasa konstruksi adalah swakelola

HISTORICAL MOMENT : PADAT KARYA (Cash For Work)
Kata Padat Karya mulai familiar sejak jaman Orde Baru dimana masyarakat yang bekerja bekerja secara gotong-royong dibarikan imbalan uang sebesar upah harian orang kerja. Tujuannya adalah memberikan reward bagi masyarakat yang berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan desa. Selain itu juga memberikan tambahan penghasilan, meningkatkan penghasilan bagi masyarakat yang kurang mampu yang pada akhirnya meningkatkan daya beli masyarakat. Di masa Orde Baru ada program Bantuan Desa yang sering disebut dengan BanDes dimana pengelolaannya dikerjakan dengan padat karya. Masyarakat bekerja setengah hari seperti gotong-royong tetapi mendapatkan upah penuh satu hari.
Apa dampak yang terjadi ketika sistem padat karya diberlakukan? Yang terjadi adalah sangat sedikit sekali pengaruhnya terhadap peningkatan penghasilan masyarakat karena padat karya hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu dan tidak berkelanjutan. Di satu sisi pemerintah hendak meningkatkan penghasilan masyarakat, tetapi ada dampak negative yang sangat luar biasa besarnya dimana padat karya justru menghilangkan sistem tata nilai yang sudah terbangun di masyarakat sejak berabad-abad lamanya. Semangat gotong-royong yang menjadi system tata nilai yang sudah terbangun dan terlembagakan sejak lama, terkikis oleh sistem padat karya yang hanya sebentar. Sejak diberlakukannya padat karya, masyarakat enggan untuk bergotong-royong membangun desanya. Terbukti dalam proyek-proyek Bantuan Desa pada masa Orde Baru yang mensyaratkan adanya swadaya (dalam bentuk uang, tenaga, material), tidak ada swadaya yang muncul. Yang ada hanyalah laporan swadaya secara fiktif, karena ada ketakutan dari pihak desa jika tidak mencantumkan swadaya, tidak akan mendapatkan bantuan lagi dari pemerintah yang masuk ke desa.
Hal ini menunjukkan ada pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat dimana segala sesuatunya dinilai dengan uang. Orang tidak mau bekerja jika tidak mendapatkan upah. Semangat sukarela, saling membantu, semangat gotong-royong, terkikis oleh yang namanya padat karya. Semangat kolektiv yang sudah terlembagakan dan terbangun di masyarakat bergeser kearah individualis dan serba dihitung dengan uang. Pasca reformasi, semangat kerelawanan/volunterism, semangat saling membantu, gotong-royong yang merupakan system tata nilai yang sudah terlembagakan dimasyarakat sejak berabad-abad namun hampir hilang sejak masa Orde Baru, coba dipulihkan kembali melalui program-program inklusi seperti P2KP dan PPK yang semuanya mensyaratkan adanya swadaya dari masyarakat baik dalam bentuk uang, tenaga, pikiran dan juga material. Harapannya adalah terbangunnya kesadaran kritis masyarakat yang mempu menemukenali masalah dan potensi di desanya masing-masing. Ketika masyarakat bisa menggali semua potensi yang ada di desa, masyarakat tidak lagi tergantung oleh uang bantuan yang masuk ke desa. Tetapi yang terjadi adalah masyarakat justru semakin ketergantungan terhadap BLM yang masuk ke desa.
Lalu bagaimana dengan program padat karya yang diinternalisasikan melalui Dana Desa? Kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan masa Orde Baru. Pelaksanaan kegiatan infrastruktur yang ada di desa, sifatnya juga sama dengan masa sebelumnya : temporer. Maka tidak dapat dijadikan jaminan bahwa padat karya ala UU Desa akan dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dan jika ditelusuri lebih jauh lagi, kegiatan yang sifatnya infrastruktur hanya akan memberikan keuntungan bagi korporasi modal. Uang yang masuk ke desa, minimal 70% akan dinikmati keuntungannya oleh perusahaan semen, aspal, besi, dll perusahaan modal besar. Keuntungan akan dinikmati oleh para kontraktor yang masuk ke desa, masyarakat hanya mendapatkan bagian sisa yang berupa upah tenaga kerja, itupun bersifat temporer dan tidak dapat dijadikan sebagai jaminan untuk mendapatkan penghasilan yang pasti apalagi layak. Jika pola seperti ini yang dibangun maka selamanya desa tidak akan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat jika terjebak pada persoalan infrastruktur dengan sistem padat karya.

PENYEDERHANAAN SPJ DENGAN PENGUATAN BPKP DAN INSPEKTORAT.
Pernyataan bahwa perlu ada penyederhanaan SPJ tetapi diperkuat pengawasannya oleh BPKP dan Inspektorat merupakan sebuat statement yang kontraproduktif. Desa bisa saja dan tentunya sangat senang jika system pelaporan yang ada amat sangat sederhana. Tetapi tidak dapat dihindari pula jika ada penguatan pengawasan yang dilakukan oleh pihak BPKP dan Inspektorat atau lembaga lainnya, tentu tidak sesederhana yang dibayangkan. Pihak BPKP ataupun Inspektorat akan selalu mengacu pada regulasi yang ada terkait pengelolaan keuangan desa yaitu mengacu pada Permendagri 113. Dan sebagai turunan atas regulasi yang ada, BPKP telah mengeluarkan aplikasi Sistem Keuangan Desa yang hingga saat ini masih banyak desa-desa yang mengalami kebingungan dalam implementasinya. Jadi hampir tidak mungkin menyederhanakan system pelaporan di desa jika melakukan penguatan BPKP untuk melakukan pengawasan. Kecuali jika ada perubahan regulasi yang mengaturnya. Yang lebih penting dari hal tersebut diatas, apakah system pelaporan yang sangat sederhana sudah dapat merepresentasikan adanya transparansi dan akuntabilitas? Jika belum, maka penyederhanaan system pelaporan jangan sampai mereduksi spirit UU Desa yang membangun system transparansi dan akuntabilitas keuangan desa.

APA DAN BAGAIMANA?
Saat ini desa dihadapkan pada pertarungan menghadapi korporasi modal besar. Pola perlawanan tidak dapat dilakukan secara konvensional yang hanya mengandalkan proyek padat karya. Jika jalan itu yang selalu ditempuh maka, desa selamanya hanya akan menjadi sapi perahan bagi kekuatan kapital. Para kontraktor sudah mengepung desa, para pemilik perusahaan semen, aspal, besi, pengusaha tambang batu kali, pasir, dll sudah mengincar kekayaan desa. Desa berada dalam kepungan arus penetrasi kapital, maka kekuatan modal harus dilawan dengan kekuatan modal. Bangun kekuatan modal di desa dengan membangun perusahaan konstruksi yang ada di desa. Jangan biarkan kontraktor masuk desa dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sedangkan desa hanya mendapatkan sisa upah tenaga kerja. Jika desa sudah punya perusahaan konstruksi sendiri di bawah unit usahanya BUMDes, bukankah keuntungan yang di dapat tidak akan lari keluar desa? Bukankah keuntungan yang diperoleh dari hasil kerja, dapat dikembalikan lagi kepada masyarakat? Dan kembali pada pemahaman di awal, jika pengadaan jasa konstruksi merupakan swakelola maka tidak salah juga jika desa membangun perusahaan konstruksi dan menjadi penyedia jasa konstruksi di desanya. Dari berbagai pengalaman yang sudah ada bahwa BUMDes yang dapat berkembang, di belakangnya ada sistem manajemen yang sudah mapan. Maka desa perlu membangun sistem tata kelola desa yang professional dengan menjaring orang-orang yang akan terlibat dalam pengelolaan BUMDes.

Hanya sebatas opini...
Salam dari Desa…

3 komentar: