BUMDesA
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK
Gambar: desakaliwungu.wordpress.com
Setelah ditetapkannya UU No.6 Tahun 2014 tentang
Desa, hampir sebagian besar yang bergelut dalam proses pembangunan desa berbondong-bondong
berupaya membangun BUMDesa seolah mengalami uforia kemenangan atas desa yang
selama ini mengalami subordinasi dari pemerintahan supra desa. Dari BUMDesa
yang sudah terbangun, beberapa sudah ada yang menunjukkan keberhasilannya di
beberapa daerah kabupaten/kota. Tetapi banyak juga yang secara kelembagaan
terbentuk, namun aktifitas lembaga belum berjalan. Disisi yang lain, tidak
sedikit juga yang mengalami kebingungan dan kebuntuan terlebih pada saat
berhadapan pada persoalan legalitas formal BUMDesa. Sebagai contoh ketika BUMdesa hendak mau didirikan dan
bahkan ada yang sudah terbentuk, tetapi mengalami kebingungan. Banyak
pertanyaan-pertanyaan muncul seperti apakah BUMDesa sudah kuat secara hukum
dengan ditetapkannya melalui Peraturan Desa atau BUMDesa harus berbadan hukum. Pertanyaan
lebih lanjut, ketika BUMDesa harus berbadan hukum, yang di badan hukumkan
BUMDesa nya atau Unit-Unit nya? Dua pertanyaan tersebut hingga saat ini belum
ada titik terang yang jelas. Selain dua pertanyaan besar tadi, sebenarynya masih
banyak pertanyaan-pertanyaan seputar mekanisme dan aturan main yang harus
disepakati bersama seperti share pembagian keuntungan dan sebagainya. Dari
sekian pertanyaan yang muncul, menunjukkan bahwa sebenarnya ada rasionalitas
pseudo konkrit dimana realitas yang tidak rasional yang tersembunyi di
balik realitas yang nampaknya rasional. Sehingga realitas yang tidak rasional terlihat
sebagai suatu realitas yang seolah-olah rasional, padahal sesungguhnya tidak
rasional. Rasionalitas Pseudo Konkrit inilah yang harus dibongkar
terlebih dahulu sebelum semuanya tersesat pada jalan yang salah.
Berbicara tentang masalah BUMDesa sebagai upaya
dalam mengembalikan kedaulatan desa harus dilihat dalam perspektif ekonomi
politik dan tidak bisa dilihat dalam perspektif hukum yuridis formal saja
apalagi hanya pada tataran administrasi. Kenapa persoalan-persoalan yang muncul
diatas hingga saat ini belum bisa terselesaikan? Karena selama ini BUMDesa
hanya dilihat dari perspektif hukum dan administrasi saja. Dan harus disadari
bahwa hukum tidak dapat membongkar rasionalitas yang berjalan pada realitas. Rasionalitas
itu harus kita lihat dalam perspektif ekonomi politik. UU Desa adalah hasil
dari proses politik yang tentunya tidak lepas juga dari rentetan kebijakan yang
sebelumnya, maka mari kita tengok sekilas sejarah rentetan kebijakan yang
mendahului dimana kebijakan yang awalnya bersifat sentralistik berubah kearah
desentralisasi dengan disyahkannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Tetapi
desentralisasi seperti yang tertuang dalam UU Otonomi Daerah berhenti pada level
pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah kabupaten/kota dan tidak sampai ke
desa. Desa diberikan desentralisasi politik tetapi desa tidak diberikan
desentralisasi fiskal dalam artian desa diberikan kewenangan secara penuh untuk
merencanakan dan menentukan arah pembangunan desa tetapi desa tidak diberikan dana
untuk membangun. Sehingga desa hanya menjadi subordinasi dari pemerintahan
supra desa yang ada diatasnya. UU Otonomi Daerah menempatkan kepala daerah
dalam posisi sentral atas pembangunan di desa, dan desa hanya sebatas obyek
pembangunan. Hal inilah yang kemudian memicu gerakan-gerakan sosial untuk
mewujudkan desentralisasi di tingkat desa dan demokratisasi desa yang pada
akhirnya disyahkannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Ada hal yang menarik
disini bahwa di satu sisi ingin mewujudkan desentralisasi dan di sisi lain
ingin mewujudkan demokratisasi desa. Dua hal yang sangat berbeda, desentralisasi
berupaya membela desa atas subordinasi supradesa, sedangkan demokratisasi dalam
konteks melawan dominasi elite desa. UU
Desa sudah disyahkan, itu artinya persoalan desentralisasi sudah terpecahkan. Jika
di dalam UU Otonomi Daerah menempatkan kepala daerah sebagai peran sentral
dalam proses pembangunan desa, maka dalam UU Desa menempatkan desa sebagai
subyek pembangunan yang ada di desa yang dalam hal ini adalah kepala desa
sebagai nahkoda pembangunan. Pekerjaan berat sekarang adalah bagaimana
membangun kesadaran kritis masyarakat desa agar secara sadar terlibat secara
aktif dalam proses pembangunan desa demi terwujudnya demokratisasi desa baik
demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi.
Dari rentetan kebijakan yang bergeser dari
sentralisktik menuju pada desentralisasi, muncul pertanyaan rasionalitas apa
yang sesungguhnya sedang terjadi pada realitas saat ini? Rasionalitasnya adalah
bahwa pintu masuk arus penetrasi kapital global melalui sebuah regulasi
kebijakan. Pada saat Negara menerapkan kebijakan yang bersifat sentralistik,
arus penetrasi kapital kesulitan untuk melancarkan aksinya walaupun dalam
realitasnya dapat masuk juga. Demi melancarkan agendanya untuk melakukan
penetrasi kapital, maka didesakkannya kebijakan yang bersifat desentralistik
dengan disyahkannya UU No.32 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah. Tidak hanya
berhenti pada tingkat daerah, arus penetrasi kapital semakin memuluskan
jalannya sampai tingkat desa dengan disyahkannya UU No.6 Tahun 2014 tentang
Desa. Dari rasionalitas ini menunjukkan bahwa ada dua sisi kepentingan yang
sangat berlawanan dan keduanya saling menegasikan. Di satu sisi ada spirit yang
luar biasa untuk mengembalikan kedaulatan desa, di sisi yang lain ada agenda
tersembunyi dari kaum kapital untuk melakukan eksploitasi atas sumber-sumber
yang ada di desa. Ini berarti ada pertarungan besar antara desa melawan arus
kapital global yang merupakan pertarungan sesungguhnya dimana pertarungan itu
tersembunyi pada sebuah realitas yang nampaknya rasional. Dengan kondisi desa
saat ini, dimana desa masih terjebak pada persoalan-persoalan administratif,
terjebak dengan pola pembangunan yang bersifat infrastruktur, partisipasi
masyarakat baik secara individu maupun secara kelembagaan untuk melakukan
kontrol kebijakan masih lemah, apakah desa dengan BUMDesa yang dibangun mampu melakukan
perlawanan terhadap kapitalisme global? Mari kita lihat bagaimana pola
pertarungan diantara keduanya.
BUMDesa merupakan salah satu bentuk manifestasi
dari demokratisasi ekonomi desa dalam upaya mengembalikan kedaulatan desa. Sebagai
bentuk perlawanan, BUMDesa ini merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa dan
merupakan ancaman bagi kepentingan masuknya arus modal besar namun juga
sekaligus sebagai titik lemah dari kekuatan itu sendiri. Bagaimana tidak, jika
dalam satu desa dengan BUMDesa nya yang berkembang sehingga desa memiliki PADes
yang tinggi misalnya 20 Milyar per tahun, bisa dipastikan desa tersebut
tidak membutuhkan bantuan dari manapun termasuk bantuan dana desa dari APBN atau
dari APBD. Itu baru satu desa, jika seluruh desa yang ada di Indonesia tidak
membutuhkan bantuan dana desa dari APBN atau dari APBD karena semua desa sudah
mandiri, maka Negara sudah tidak membutuhkan lagi hutang luar negeri karena
semua desa sudah bisa membangun dirinya sendiri. Inilah spirit terdalam dan
terbesar yang sangat luar biasa yang terkandung dalam UU No.6 Tahun 2014
tentang Desa dimana Desa Membangun dirinya sendiri yang sebelum UU Desa disyahkan,
pemerintah baik pusat maupun daerah Membangun Desa. Telah terjadi
lompatan kualitatif yang sangat luar biasa dimana terjadi pergeseran paradigma
pembangunan desa dari Membangun Desa menjadi Desa
Membangun. Spirit itulah yang menjadi ancaman besar bagi masuknya arus
kapital global sehingga kaum kapital berupaya semaksimal mungkin jangan sampai
semua desa yang ada di Indonesia mandiri. Jika hal itu terjadi, maka kekalahan
besar bagi kaum capital karena tidak dapat memetik keuntungan dari pertarungan
yang ada. Maka tidak aneh jika terjadi proses pelemahan munculnya BUMDesa secara
sistematis mulai dari regulasi kebijakan. Selain melalui regulasi kebijakan,
pelemahan juga terjadi di semua daerah.
Bukti adanya pelemahan di tingkat regulasi
kebijakan adalah bahwa kelahiran UU Desa sudah dihadang dengan disyahkannya UU
No.1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang mana kebijakan tersebut
sangat mempengaruhi terhadap pilihan bentuk BUMDesa yang seharusnya secara
yuridis formal hanya sampai tingkat Peraturan Desa saja sudah cukup. Namun
dengan UU No.1 Tahun 2013 tersebut, BUMDesa seolah-olah belum memiliki jenis
kelamin yang jelas. Dalam pasal 4 dan 5 ayat 1 UU No.1 Tahun 2013 dijelaskan
bahwa Lembaga Keuangan Mikro harus berbentuk Badan Hukum, dan bentuk dari badan
hukum tersebut adalah Perseroan Terbatas dan Koperasi. Jika bentuk pilihannya
adalah PT, maka wajib hukumnya mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku
yang dalam hal ini adalah UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kemudian,
karena pilihan bentuknya adalah PT dan bergerak di bidang simpan pinjam atau
berupa bank desa, maka juga harus berhadapan dengan aturan dan system perbankan
yang ada di Indonesia. Kemudian lebih lanjut dalam pasal 5 ayat 2 dan 3
dijelaskan bahwa pola kepemilikan saham minimal 60% dari pemerintah desa atau
BUMDesa, selebihnya milik saham perorangan atau koperasi. Di dalam pasal 8 juga
diatur bahwa LKM, hanya boleh dimiliki oleh WNI, BUMDesa, Pemda dan koperasi. Dan
secara eksplisit dalam pasal 39 ketentuan peralihan menyebutkan diantaranya
adalah Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit
Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Bank Karya
Produksi Desa (BKPD), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM),
dan lembaga lain yang dipersamakan.
Dimanakah letak pelemahannya? Jelas dalam UU LKM
tersebut telah mengatur tentang BUMDesa sehingga UU Desa tidak dapat berdiri
sendiri dalam implementasinya. Kemudian, struktur sosial masyarakat desa yang
sebagian besar adalah masyarakat agraris dengan BUMDesa yang baru lahir di desa
dengan segala bentuk keterbatasannya dipaksa untuk mengikuti cara-cara modern
seperti yang dipakai pada system masyarakat kapitalis. BUMDesa yang akan lahir
atau yang baru lahir dan belum sempat menata diri dipaksa bersaing dengan bank-bank
swasta besar yang sudah terbangun sejak lama dan rapi dengan cara-cara yang
sudah dikuasai oleh kaum kapital. Dalam pertarungan ini jelas desa belum
menguasai medan pertempuran, sedangkan kaum modal besar sudah menguasai medan sejak
puluhan tahun bahkan ratusan tahun dan tahu cara mengatasi lawan apalagi lawan
yang baru lahir. Dari sini jelas kelihatan bahwa pertarungan diantara keduanya
tidak adil dimana masyarakat desa dipaksa untuk mengikuti pola-pola kapitalis.
Jika pertarungan sudah tidak adil dari awal maka indikasinya sudah jelas, BUMDesa
yang dibangun di desa-desa harus mati atau desa harus tunduk dan menyerahkan
kedaulatannya pada kapitalisme global. Bentuk pelemahan dalam tataran regulasi kebijakan
yang lain adalah disyahkannya UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di
dalam pasal 298 ayat 5 dijelaskan bahwa belanja hibah dapat diberikan kepada Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN atau BUMD dan Badan, Lembaga, Organisasi Kemasyarakatan
yang Berbadan
Hukum. Berawal dari regulasi ini, banyak organisasi-organisasi yang
tidak dapat mengakses dana hibah dari pemerintah daerah kabupaten/kota karena
tidak atau belum berbadan hukum. Salah satu contohnya adalah organisasi atau
kelompok tani, sejak disyahkannya UU No.23 Tahun 2014 ini semua kelompok tani
tidak dapat mengakses dana hibah dari pemerintah kabupaten/kota. Sampai ada
petani yang mengungkapkan keluh kesahnya “sebelum Negara Indonesia lahir,
petani sudah ada. Dan dari dulu yang namanya organisasi petani ya seperti ini
adanya dan tidak berbadan hukum, kok sekarang dipaksa untuk berbadan hukum”.
Indikasi pelemahan di beberapa daerah terjadi
dengan mengatasnamakan BUMDesa melalui agen-agennya untuk mencaplok kedaulatan
desa. Atas nama BUMDesa, perusahaan-perusahaan swasta telah mendorong desa agar
terjadi proses privatisasi sumber air yang pada akhirnya terjadi eksploitasi
sumber mata air yang luar biasa yang menjadi kekayaan desa. Air yang awalnya dimanfaatkan
oleh masyarakat desa secara gratis, karena adanya privatisasi air dengan
mengatasnamakan BUMDesa, kini masyarakat harus membeli jika ingin memanfaatkan
air. Dengan iming-iming desa mendapatkan keuntungan ratusan juta atau bahkan
milyaran rupiah, bagi desa yang tidak kuat melawan arus modal besar akan dengan
mudahnya menyerahkan kedaulatan desa pada para pemilik perusahaan-perusahaan
swasta besar. Walaupun diatas permukaan, memang kelihatannya desa mendapatkan
hasil keuntungan yang sangat besar, namun sesungguhnya desa hanya mendapatkan
tetesan dari semua keuntungan yang diperoleh. Sebagai contoh saja, air yang
diambil oleh perusahaan swasta dihargai Rp.1,-. Jika dalam satu hari pihak perusahaan
mengambil air sejumlah 2 juta liter, maka penghasilan desa sudah 2 juta per
hari. Jika dihitung dalam 1 bulan, desa sudah mendapatkan penghasilan 60 juta. Dalam
1 tahun desa sudah mendapatkan penghasilan sebesar 720 juta. Sebuah angka PADes
yang cukup fantastis bukan? Tetapi jika kita bandingkan dengan penghasilan yang
diperoleh perusahaan swasta akan menjadi tidak berimbang. Sekarang taruhlah 1
liter air yang dijual di pasaran misalnya Rp.2.000,- maka tinggal kita kalikan
saja dalam satu harinya perusahaan mendapat penghasilan sebesar 2 juta liter x
Rp.2.000,- = Rp.4.000.000.000,-. Jika dalam satu hari perusahaan dapat
keuntungan sebesar Rp.4 M, maka dalam satu tahun keuntungan yang diperoleh
perusahaan swasta tersebut sebesar Rp.1,440 triliyun per tahun. Sungguh sangat
mencolok bukan perbedaannya antara keuntungan yang diperoleh desa dengan
keuntungan yang didapat oleh perusahaan swasta (1 : 2.000). Contoh lain dari bentuk
penetrasi modal besar kepada desa dengan mengatasnamakan BUMDesa adalah dengan
penguasaan lahan pertanian. Dengan pola yang sama pula, lahan milik petani disewa
oleh perusahaan-perusahaan swasta. Dan untuk mengerjakannya, perusahaan
membutuhkan pekerja dengan mempekerjakan si petani dengan system upah. Untuk kasus
yang seperti ini sungguh sangat menggelikan dimana masyarakat menjadi buruh di
tanah miliknya sendiri tetapi masyarakat belum menyadari bahwa dirinya menjadi
buruh di tanahnya sendiri karena mendapatkan dua keuntungan, yaitu keuntungan
mendapatkan uang sewa lahan dan keuntungan mendapatkan upah kerja dari
perusahaan. Terlepas berapa keuntungan yang diperoleh dari kedua pihak, kedua
contoh diatas adalah bentuk pencaplokan kedaulatan desa yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan swasta.
Rasionalitas yang tidak wajar dari sistem sosial saat
ini sudah kelihatan batang hidungnya, bau mulutnya sudah ketahuan, ia sudah
tidak dapat bersembunyi lagi di balik kegelapan karena sudah ada cahaya terang
yang menyinarinya. Dalam konteks penyelamatan BUMDesa guna mewujudkan
kedaulatan desa, maka ada dua hal besar yang harus dilakukan dalam pemberdayaan.
Pertama,
regulasi kebijakan merupakan kontradiksi pokok dalam persoalan legalitas formal
BUMDesa yang selama ini belum terpecahkan. Pemerintah daerah kabupaten/kota
tidak dapat memutuskan apakah BUMDesa cukup sampai Peraturan Desa saja atau
harus berbentuk Badan Hukum, karena terganjal oleh dua aturan yang ada. Maka perlu
adanya advokasi kebijakan terkait dengan UU No.1 Tahun 2013 tentang LKM dan UU
No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jika tidak, maka sudah jelas masa
depan BUMDesa mati atau menyerahkan kedaulatan desa pada korporasi modal besar.
Kedua,
kesadaran masyarakat masih sangat lemah untuk melakukan kontrol atas kebijakan
yang ada di desa. Kesadaran tidak akan mungkin terbangun jika tidak ada proses pendidikan
kritis, maka penyadaran kritis masyarakat mutlak harus dilakukan. Jika tidak,
maka sudah jelas masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan dimana pembangunan
desa hanya dikuasai oleh elite lokal desa. Hal terakhir yang tidak boleh
ditinggalkan adalah persoalan kapasitas pemerintah desa terkait dengan
persoalan kemampuan mengelola administrasi desa. Memang ini bukan persoalan
pokok, namun jika tidak segera diselesaikan akan sangat mengganggu proses
pemberdayaan masyarakat dan selamanya terjebak pada persoalan administrasi
belaka. Adalah salah besar jika ada pemikiran yang menganggap bahwa
pemberdayaan masyarakat hanya perkutat pada persoalan penyadaran kritis
masyarakat namun melupakan bahkan meninggalkan persoalan administrasi yang
begitu detail. Dan bahkan karena selalu berpikir secara makro, akhirnya
terjebak pada tahap pemikiran dan tidak melakukan apa-apa karena bingung apa
yang harus dilakukan. Tetapi tidak benar juga jika pemberdayaan hanya terjebak pada
persoalan administrasi dan melupakan apa yang sesungguhnya menjadi spirit UU
Desa. Untuk yang terjebak pada persoalan administrasi masih mendhing, jika
dibandingkan dengan yang terjebak pada tataran pemikiran saja. Kenapa? Walaupun
terjebak dalam persoalan administrasi, minimal sudah melakukan sesuatu daripada
terjebak dalam pemikiran yang pada akhirnya tidak melakukan apa-apa. Catatan: Bung Hatta saat
berpikir tentang Demokrasi Ekonomi, ia juga memikirkan bagaimana koperasi
terbentuk. Lebih detail lagi, ia juga menyusun bagaimana administrasi pembukuan
yang ada di koperasi. Bahkan tidak hanya berhenti di koperasi saja, ia juga
menyusun kurikulum pendidikan agar pelajaran tentang koperasi masuk di
sekolah-sekolah. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa berpikir secara
makro konsep pemberdayaan adalah sebuah keharusan, namun juga tidak boleh
meninggalkan persoalan administrasi yang sifatnya detail. Selamatkan kedaulatan
desa, Jangan biarkan kedaulatan dirampas oleh korporasi modal…
Semoga Bermanfaat…
Salam
Desa Mandiri…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar