.

Jumat, 26 Agustus 2016

BUMDESA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK

BUMDesA
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK

Gambar: desakaliwungu.wordpress.com

Setelah ditetapkannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, hampir sebagian besar yang bergelut dalam proses pembangunan desa berbondong-bondong berupaya membangun BUMDesa seolah mengalami uforia kemenangan atas desa yang selama ini mengalami subordinasi dari pemerintahan supra desa. Dari BUMDesa yang sudah terbangun, beberapa sudah ada yang menunjukkan keberhasilannya di beberapa daerah kabupaten/kota. Tetapi banyak juga yang secara kelembagaan terbentuk, namun aktifitas lembaga belum berjalan. Disisi yang lain, tidak sedikit juga yang mengalami kebingungan dan kebuntuan terlebih pada saat berhadapan pada persoalan legalitas formal BUMDesa. Sebagai contoh ketika BUMdesa hendak mau didirikan dan bahkan ada yang sudah terbentuk, tetapi mengalami kebingungan. Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul seperti apakah BUMDesa sudah kuat secara hukum dengan ditetapkannya melalui Peraturan Desa atau BUMDesa harus berbadan hukum. Pertanyaan lebih lanjut, ketika BUMDesa harus berbadan hukum, yang di badan hukumkan BUMDesa nya atau Unit-Unit nya? Dua pertanyaan tersebut hingga saat ini belum ada titik terang yang jelas. Selain dua pertanyaan besar tadi, sebenarynya masih banyak pertanyaan-pertanyaan seputar mekanisme dan aturan main yang harus disepakati bersama seperti share pembagian keuntungan dan sebagainya. Dari sekian pertanyaan yang muncul, menunjukkan bahwa sebenarnya ada rasionalitas pseudo konkrit dimana realitas yang tidak rasional yang tersembunyi di balik realitas yang nampaknya rasional. Sehingga realitas yang tidak rasional terlihat sebagai suatu realitas yang seolah-olah rasional, padahal sesungguhnya tidak rasional. Rasionalitas Pseudo Konkrit inilah yang harus dibongkar terlebih dahulu sebelum semuanya tersesat pada jalan yang salah. 

Berbicara tentang masalah BUMDesa sebagai upaya dalam mengembalikan kedaulatan desa harus dilihat dalam perspektif ekonomi politik dan tidak bisa dilihat dalam perspektif hukum yuridis formal saja apalagi hanya pada tataran administrasi. Kenapa persoalan-persoalan yang muncul diatas hingga saat ini belum bisa terselesaikan? Karena selama ini BUMDesa hanya dilihat dari perspektif hukum dan administrasi saja. Dan harus disadari bahwa hukum tidak dapat membongkar rasionalitas yang berjalan pada realitas. Rasionalitas itu harus kita lihat dalam perspektif ekonomi politik. UU Desa adalah hasil dari proses politik yang tentunya tidak lepas juga dari rentetan kebijakan yang sebelumnya, maka mari kita tengok sekilas sejarah rentetan kebijakan yang mendahului dimana kebijakan yang awalnya bersifat sentralistik berubah kearah desentralisasi dengan disyahkannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Tetapi desentralisasi seperti yang tertuang dalam UU Otonomi Daerah berhenti pada level pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah kabupaten/kota dan tidak sampai ke desa. Desa diberikan desentralisasi politik tetapi desa tidak diberikan desentralisasi fiskal dalam artian desa diberikan kewenangan secara penuh untuk merencanakan dan menentukan arah pembangunan desa tetapi desa tidak diberikan dana untuk membangun. Sehingga desa hanya menjadi subordinasi dari pemerintahan supra desa yang ada diatasnya. UU Otonomi Daerah menempatkan kepala daerah dalam posisi sentral atas pembangunan di desa, dan desa hanya sebatas obyek pembangunan. Hal inilah yang kemudian memicu gerakan-gerakan sosial untuk mewujudkan desentralisasi di tingkat desa dan demokratisasi desa yang pada akhirnya disyahkannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Ada hal yang menarik disini bahwa di satu sisi ingin mewujudkan desentralisasi dan di sisi lain ingin mewujudkan demokratisasi desa. Dua hal yang sangat berbeda, desentralisasi berupaya membela desa atas subordinasi supradesa, sedangkan demokratisasi dalam konteks melawan dominasi elite desa.  UU Desa sudah disyahkan, itu artinya persoalan desentralisasi sudah terpecahkan. Jika di dalam UU Otonomi Daerah menempatkan kepala daerah sebagai peran sentral dalam proses pembangunan desa, maka dalam UU Desa menempatkan desa sebagai subyek pembangunan yang ada di desa yang dalam hal ini adalah kepala desa sebagai nahkoda pembangunan. Pekerjaan berat sekarang adalah bagaimana membangun kesadaran kritis masyarakat desa agar secara sadar terlibat secara aktif dalam proses pembangunan desa demi terwujudnya demokratisasi desa baik demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi.
Dari rentetan kebijakan yang bergeser dari sentralisktik menuju pada desentralisasi, muncul pertanyaan rasionalitas apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada realitas saat ini? Rasionalitasnya adalah bahwa pintu masuk arus penetrasi kapital global melalui sebuah regulasi kebijakan. Pada saat Negara menerapkan kebijakan yang bersifat sentralistik, arus penetrasi kapital kesulitan untuk melancarkan aksinya walaupun dalam realitasnya dapat masuk juga. Demi melancarkan agendanya untuk melakukan penetrasi kapital, maka didesakkannya kebijakan yang bersifat desentralistik dengan disyahkannya UU No.32 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah. Tidak hanya berhenti pada tingkat daerah, arus penetrasi kapital semakin memuluskan jalannya sampai tingkat desa dengan disyahkannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Dari rasionalitas ini menunjukkan bahwa ada dua sisi kepentingan yang sangat berlawanan dan keduanya saling menegasikan. Di satu sisi ada spirit yang luar biasa untuk mengembalikan kedaulatan desa, di sisi yang lain ada agenda tersembunyi dari kaum kapital untuk melakukan eksploitasi atas sumber-sumber yang ada di desa. Ini berarti ada pertarungan besar antara desa melawan arus kapital global yang merupakan pertarungan sesungguhnya dimana pertarungan itu tersembunyi pada sebuah realitas yang nampaknya rasional. Dengan kondisi desa saat ini, dimana desa masih terjebak pada persoalan-persoalan administratif, terjebak dengan pola pembangunan yang bersifat infrastruktur, partisipasi masyarakat baik secara individu maupun secara kelembagaan untuk melakukan kontrol kebijakan masih lemah, apakah desa dengan BUMDesa yang dibangun mampu melakukan perlawanan terhadap kapitalisme global? Mari kita lihat bagaimana pola pertarungan diantara keduanya.
BUMDesa merupakan salah satu bentuk manifestasi dari demokratisasi ekonomi desa dalam upaya mengembalikan kedaulatan desa. Sebagai bentuk perlawanan, BUMDesa ini merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa dan merupakan ancaman bagi kepentingan masuknya arus modal besar namun juga sekaligus sebagai titik lemah dari kekuatan itu sendiri. Bagaimana tidak, jika dalam satu desa dengan BUMDesa nya yang berkembang sehingga desa memiliki PADes yang tinggi misalnya 20 Milyar per tahun, bisa dipastikan desa tersebut tidak membutuhkan bantuan dari manapun termasuk bantuan dana desa dari APBN atau dari APBD. Itu baru satu desa, jika seluruh desa yang ada di Indonesia tidak membutuhkan bantuan dana desa dari APBN atau dari APBD karena semua desa sudah mandiri, maka Negara sudah tidak membutuhkan lagi hutang luar negeri karena semua desa sudah bisa membangun dirinya sendiri. Inilah spirit terdalam dan terbesar yang sangat luar biasa yang terkandung dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa dimana Desa Membangun dirinya sendiri yang sebelum UU Desa disyahkan, pemerintah baik pusat maupun daerah Membangun Desa. Telah terjadi lompatan kualitatif yang sangat luar biasa dimana terjadi pergeseran paradigma pembangunan desa dari Membangun Desa menjadi Desa Membangun. Spirit itulah yang menjadi ancaman besar bagi masuknya arus kapital global sehingga kaum kapital berupaya semaksimal mungkin jangan sampai semua desa yang ada di Indonesia mandiri. Jika hal itu terjadi, maka kekalahan besar bagi kaum capital karena tidak dapat memetik keuntungan dari pertarungan yang ada. Maka tidak aneh jika terjadi proses pelemahan munculnya BUMDesa secara sistematis mulai dari regulasi kebijakan. Selain melalui regulasi kebijakan, pelemahan juga terjadi di semua daerah.
Bukti adanya pelemahan di tingkat regulasi kebijakan adalah bahwa kelahiran UU Desa sudah dihadang dengan disyahkannya UU No.1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang mana kebijakan tersebut sangat mempengaruhi terhadap pilihan bentuk BUMDesa yang seharusnya secara yuridis formal hanya sampai tingkat Peraturan Desa saja sudah cukup. Namun dengan UU No.1 Tahun 2013 tersebut, BUMDesa seolah-olah belum memiliki jenis kelamin yang jelas. Dalam pasal 4 dan 5 ayat 1 UU No.1 Tahun 2013 dijelaskan bahwa Lembaga Keuangan Mikro harus berbentuk Badan Hukum, dan bentuk dari badan hukum tersebut adalah Perseroan Terbatas dan Koperasi. Jika bentuk pilihannya adalah PT, maka wajib hukumnya mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku yang dalam hal ini adalah UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kemudian, karena pilihan bentuknya adalah PT dan bergerak di bidang simpan pinjam atau berupa bank desa, maka juga harus berhadapan dengan aturan dan system perbankan yang ada di Indonesia. Kemudian lebih lanjut dalam pasal 5 ayat 2 dan 3 dijelaskan bahwa pola kepemilikan saham minimal 60% dari pemerintah desa atau BUMDesa, selebihnya milik saham perorangan atau koperasi. Di dalam pasal 8 juga diatur bahwa LKM, hanya boleh dimiliki oleh WNI, BUMDesa, Pemda dan koperasi. Dan secara eksplisit dalam pasal 39 ketentuan peralihan menyebutkan diantaranya adalah Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan lembaga lain yang dipersamakan.
Dimanakah letak pelemahannya? Jelas dalam UU LKM tersebut telah mengatur tentang BUMDesa sehingga UU Desa tidak dapat berdiri sendiri dalam implementasinya. Kemudian, struktur sosial masyarakat desa yang sebagian besar adalah masyarakat agraris dengan BUMDesa yang baru lahir di desa dengan segala bentuk keterbatasannya dipaksa untuk mengikuti cara-cara modern seperti yang dipakai pada system masyarakat kapitalis. BUMDesa yang akan lahir atau yang baru lahir dan belum sempat menata diri dipaksa bersaing dengan bank-bank swasta besar yang sudah terbangun sejak lama dan rapi dengan cara-cara yang sudah dikuasai oleh kaum kapital. Dalam pertarungan ini jelas desa belum menguasai medan pertempuran, sedangkan kaum modal besar sudah menguasai medan sejak puluhan tahun bahkan ratusan tahun dan tahu cara mengatasi lawan apalagi lawan yang baru lahir. Dari sini jelas kelihatan bahwa pertarungan diantara keduanya tidak adil dimana masyarakat desa dipaksa untuk mengikuti pola-pola kapitalis. Jika pertarungan sudah tidak adil dari awal maka indikasinya sudah jelas, BUMDesa yang dibangun di desa-desa harus mati atau desa harus tunduk dan menyerahkan kedaulatannya pada kapitalisme global. Bentuk pelemahan dalam tataran regulasi kebijakan yang lain adalah disyahkannya UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam pasal 298 ayat 5 dijelaskan bahwa belanja hibah dapat diberikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN atau BUMD dan Badan, Lembaga, Organisasi Kemasyarakatan yang Berbadan Hukum. Berawal dari regulasi ini, banyak organisasi-organisasi yang tidak dapat mengakses dana hibah dari pemerintah daerah kabupaten/kota karena tidak atau belum berbadan hukum. Salah satu contohnya adalah organisasi atau kelompok tani, sejak disyahkannya UU No.23 Tahun 2014 ini semua kelompok tani tidak dapat mengakses dana hibah dari pemerintah kabupaten/kota. Sampai ada petani yang mengungkapkan keluh kesahnya “sebelum Negara Indonesia lahir, petani sudah ada. Dan dari dulu yang namanya organisasi petani ya seperti ini adanya dan tidak berbadan hukum, kok sekarang dipaksa untuk berbadan hukum”.
Indikasi pelemahan di beberapa daerah terjadi dengan mengatasnamakan BUMDesa melalui agen-agennya untuk mencaplok kedaulatan desa. Atas nama BUMDesa, perusahaan-perusahaan swasta telah mendorong desa agar terjadi proses privatisasi sumber air yang pada akhirnya terjadi eksploitasi sumber mata air yang luar biasa yang menjadi kekayaan desa. Air yang awalnya dimanfaatkan oleh masyarakat desa secara gratis, karena adanya privatisasi air dengan mengatasnamakan BUMDesa, kini masyarakat harus membeli jika ingin memanfaatkan air. Dengan iming-iming desa mendapatkan keuntungan ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah, bagi desa yang tidak kuat melawan arus modal besar akan dengan mudahnya menyerahkan kedaulatan desa pada para pemilik perusahaan-perusahaan swasta besar. Walaupun diatas permukaan, memang kelihatannya desa mendapatkan hasil keuntungan yang sangat besar, namun sesungguhnya desa hanya mendapatkan tetesan dari semua keuntungan yang diperoleh. Sebagai contoh saja, air yang diambil oleh perusahaan swasta dihargai Rp.1,-. Jika dalam satu hari pihak perusahaan mengambil air sejumlah 2 juta liter, maka penghasilan desa sudah 2 juta per hari. Jika dihitung dalam 1 bulan, desa sudah mendapatkan penghasilan 60 juta. Dalam 1 tahun desa sudah mendapatkan penghasilan sebesar 720 juta. Sebuah angka PADes yang cukup fantastis bukan? Tetapi jika kita bandingkan dengan penghasilan yang diperoleh perusahaan swasta akan menjadi tidak berimbang. Sekarang taruhlah 1 liter air yang dijual di pasaran misalnya Rp.2.000,- maka tinggal kita kalikan saja dalam satu harinya perusahaan mendapat penghasilan sebesar 2 juta liter x Rp.2.000,- = Rp.4.000.000.000,-. Jika dalam satu hari perusahaan dapat keuntungan sebesar Rp.4 M, maka dalam satu tahun keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta tersebut sebesar Rp.1,440 triliyun per tahun. Sungguh sangat mencolok bukan perbedaannya antara keuntungan yang diperoleh desa dengan keuntungan yang didapat oleh perusahaan swasta (1 : 2.000). Contoh lain dari bentuk penetrasi modal besar kepada desa dengan mengatasnamakan BUMDesa adalah dengan penguasaan lahan pertanian. Dengan pola yang sama pula, lahan milik petani disewa oleh perusahaan-perusahaan swasta. Dan untuk mengerjakannya, perusahaan membutuhkan pekerja dengan mempekerjakan si petani dengan system upah. Untuk kasus yang seperti ini sungguh sangat menggelikan dimana masyarakat menjadi buruh di tanah miliknya sendiri tetapi masyarakat belum menyadari bahwa dirinya menjadi buruh di tanahnya sendiri karena mendapatkan dua keuntungan, yaitu keuntungan mendapatkan uang sewa lahan dan keuntungan mendapatkan upah kerja dari perusahaan. Terlepas berapa keuntungan yang diperoleh dari kedua pihak, kedua contoh diatas adalah bentuk pencaplokan kedaulatan desa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Rasionalitas yang tidak wajar dari sistem sosial saat ini sudah kelihatan batang hidungnya, bau mulutnya sudah ketahuan, ia sudah tidak dapat bersembunyi lagi di balik kegelapan karena sudah ada cahaya terang yang menyinarinya. Dalam konteks penyelamatan BUMDesa guna mewujudkan kedaulatan desa, maka ada dua hal besar yang harus dilakukan dalam pemberdayaan. Pertama, regulasi kebijakan merupakan kontradiksi pokok dalam persoalan legalitas formal BUMDesa yang selama ini belum terpecahkan. Pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memutuskan apakah BUMDesa cukup sampai Peraturan Desa saja atau harus berbentuk Badan Hukum, karena terganjal oleh dua aturan yang ada. Maka perlu adanya advokasi kebijakan terkait dengan UU No.1 Tahun 2013 tentang LKM dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jika tidak, maka sudah jelas masa depan BUMDesa mati atau menyerahkan kedaulatan desa pada korporasi modal besar. Kedua, kesadaran masyarakat masih sangat lemah untuk melakukan kontrol atas kebijakan yang ada di desa. Kesadaran tidak akan mungkin terbangun jika tidak ada proses pendidikan kritis, maka penyadaran kritis masyarakat mutlak harus dilakukan. Jika tidak, maka sudah jelas masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan dimana pembangunan desa hanya dikuasai oleh elite lokal desa. Hal terakhir yang tidak boleh ditinggalkan adalah persoalan kapasitas pemerintah desa terkait dengan persoalan kemampuan mengelola administrasi desa. Memang ini bukan persoalan pokok, namun jika tidak segera diselesaikan akan sangat mengganggu proses pemberdayaan masyarakat dan selamanya terjebak pada persoalan administrasi belaka. Adalah salah besar jika ada pemikiran yang menganggap bahwa pemberdayaan masyarakat hanya perkutat pada persoalan penyadaran kritis masyarakat namun melupakan bahkan meninggalkan persoalan administrasi yang begitu detail. Dan bahkan karena selalu berpikir secara makro, akhirnya terjebak pada tahap pemikiran dan tidak melakukan apa-apa karena bingung apa yang harus dilakukan. Tetapi tidak benar juga jika pemberdayaan hanya terjebak pada persoalan administrasi dan melupakan apa yang sesungguhnya menjadi spirit UU Desa. Untuk yang terjebak pada persoalan administrasi masih mendhing, jika dibandingkan dengan yang terjebak pada tataran pemikiran saja. Kenapa? Walaupun terjebak dalam persoalan administrasi, minimal sudah melakukan sesuatu daripada terjebak dalam pemikiran yang pada akhirnya tidak melakukan apa-apa. Catatan: Bung Hatta saat berpikir tentang Demokrasi Ekonomi, ia juga memikirkan bagaimana koperasi terbentuk. Lebih detail lagi, ia juga menyusun bagaimana administrasi pembukuan yang ada di koperasi. Bahkan tidak hanya berhenti di koperasi saja, ia juga menyusun kurikulum pendidikan agar pelajaran tentang koperasi masuk di sekolah-sekolah. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa berpikir secara makro konsep pemberdayaan adalah sebuah keharusan, namun juga tidak boleh meninggalkan persoalan administrasi yang sifatnya detail. Selamatkan kedaulatan desa, Jangan biarkan kedaulatan dirampas oleh korporasi modal…

Semoga Bermanfaat…
Salam Desa Mandiri…





Tidak ada komentar:

Posting Komentar