.

Rabu, 13 April 2016

BELAJAR DARI PNPM – MP


BELAJAR DARI PNPM – MP



KILAS BALIK
J.W.F. Hegel seorang filsuf dari jerman mengatakan bahwa Sejarah bukan hanya sekedar rangkaian peristiwa saja melainkan dalam setiap peristiwa tersebut ada dialektika perkembangan pemikiran manusia sehingga akan terjadi benturan peradaban yang terus menerus tiada henti. Sejarah adalah kuburan, demikian kata vilfredo pareto, seorang insinyur yang sekaligus seorang ekonom dan juga sosiolog. Nampaknya penulis sepakat dengan pendapat Hegel, karena tanpa sejarah, kita tidak akan pernah ada. Sejarah berlangsung bersama berlangsungnya kehidupan kita. Dari sejarah, kita bisa belajar melihat kesalahan, dan dari situ kita berusaha memperbaiki langkah kita di masa depan. Untuk itu Jangan Sekali-kali Meninggalkan sejarah demikian soekarno bilang. Demikian juga BKM sebagai sebuah organisasi masyarakat warga dalam proses perjalanannyapun harus belajar dari sejarah organisasi masyarakat warga yang ada sebelumnya. Untuk itu mari kita tengok sebentar tentang sekelumit sejarah perjalanan organisasi masyarakat warga dari jaman kolonial hingga saat ini.
Historical Moment
Masyarakat belum sempat keluar dari sistem feodalisme harus dipaksa dan tunduk pada sistem kolonialisme asing yang penuh dengan syarat penindasan dan penghisapan dan lebih parah jika dibandingkan pada saat jaman feodal. Kemiskinan dan kelaparan tumbuh di mana-mana. Sumber daya alam dieksploitasi secara besar-besaran terlebih ketika VOC menerapkan kebijakan politik pintu terbuka dengan undang-undangnya yang terkenal Agrarische Wet 1870. Modal asing masuk dan mencengkramkan kuku imperialismenya untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam yang ada di Indonesia. Aras perkembangan liberalisasi asset asing demikian gencarnya menancapkan kuku-kukunya di Indonesia melalui berbagai macam bentuknya melalui regulasi kebijakan yang ada, dimana kebijakan sebagai payung hukum untuk mengamankan segala bentuk aset yang dimiliki. Mulai sejak masuknya VOC di Indonesia pada tahun 1511, kaum liberal mendesakkan regulasi kebijakan yang dinamakan UU Agraria yang terkenal dengan nama Agrarice Wet pada tahun 1870. Dengan adanya undang-undang tersebut maka dengan leluasanya modal-modal asing masuk ke Indonesia dan melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia. Kebijakan tersebut telah membawa dampak pada proses pemiskinan yang terjadi dimana-mana. Kelaparan terjadi dimana-mana. Masyarakat telah banyak menderita sengsara sebagai akibat dari kebijakan yang sangat ekspolitatip. Karena kebijakan yang ditelurkan tersebut tidak berpihak pada rakyat serta menimbulkan kemiskinan dan juga kelaparan dimana-mana, maka muncullah perlawanan terhadap kebijakan yang ada. Melihat kondisi yang serba kekurangan, miskin dan kelaparan terjadi dimana-mana maka muncullah kesadaran masyarakat untuk membentuk sebuah organisasi pergerakan sebagai aksi perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme asing. Sarekat Dagang Islam muncul atas dasar perlawanan dan ingin memotong arus perdagangan Cina, Sarekat Islam yang embrionya adalah SDI bergeser kearah politik yang tadinya berorientasi pada ekonomi saja, Budi Utomo muncul walaupun sifatnya masih kedaerahan dan sangat Jawa centris yang anggotanya mayoritas kaum bangsawan Jawa, kemudian Perhimpunan Indonesia adalah organisasi pemuda yang pertama kali memakai nama Indonesia, dll. Organisasi-organisasi tersebut diatas muncul atas dasar kesadaran masyarakat dan bukan muncul atas dasar inisiatif dari golongan elite penguasa yang pada akhirnya pada tahun 1945 terjadi perubahan yang sangat revolusioner terhadap kebijakan yang ada dimana system social dirombak secara total. Sehingga semua kebijakan yang tadinya hanyalah menguntungkan pihak asing, diganti seluruhnya sesuai dengan keinginan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Para pendiri Negara mencoba mendobrak tatanan social dari system colonial dimana pendekatan yang dipakai adalah pendekatan structural dengan programnya redistribusi tanah yang sering dikenal dengan nama land reform dimana pola kepemilikan tanah dibatasi dan memberikan tanah bagi kaum tani dan buruh tani yang tidak memiliki tanah agar bisa bekerja dan dapat hidup layak bebas dari kemiskinan. Oleh pemerintah program tersebut dianggap sebagai program yang sangat strategis melihat kondisi masyarakat dimana struktur masyarakat Indonesia adalah struktur masyarakat agraris, lalu diangkatlah land reform sebagai program nasional. Maka pemerintah mencanangkan program tersebut. Berbagai macam organisasi politik, organisasi masa, organisasi masyarakat dari berbagai macam golongan muncul dan sangat diberikan keleluasaan dalam menentukan pilihan atau lebih tepatnya menyuarakan aspirasi. Di masa Orde Lama, organisasi muncul atas inisiatif masyarakat sendiri. Tetapi perlu disadari bahwa inisiatif untuk membentuk organisasi bukan murni atas inisiatif murni dari masyarakat itu sendiri. Hal ini ditandai dengan adanya pidato bung Hatta yang menginstruksikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk membentuk organisasi dalam memperjuangkan aspirasinya untuk menuju Negara yang demokratis. Salah satu organisasi yang ada dan dianggap sebagai organisasi terlarang pada saat Orde Baru yaitu PKI mendukung program pemerintah yaitu program land reform. Namun dalam proses perjalanannyapun tidaklah semulus apa yang diharapkan, konflik horizontal terjadi antara kaum tani dan buruh tani berhadapan dengan tuan tanah. Kaum tani dan buruh tani kecil sudah tidak sabar untuk mendapatkan hak milik atas tanah, di sisi lain kaum tuan tanah tidak rela jika sebagian tanahnya diambil pemerintah untuk diberikan kepada kaum tani dan buruh tani. Tuan tanah melakukan aksi sepihak, merebut tanahnya kembali yang telah diberikan kepada kaum tani dan buruh tani. Program sedang berjalan, konflik terjadi di tingkatan grass root, rawan pangan dan kelaparan terjadi di mana-mana. Isu tersebut ditangkap oleh PKI, dan PKI berpihak pada kaum tani dan buruh tani kecil dengan cara aksi sepihak pula merebut kembali tanah yang sudah jadi hak miliknya kaum tani dan buruh tani dengan cara menanami tanaman di tanah miliknya yang telah direbut oleh kaum tuan tanah. Konflik yang belum sempat diselesaikan oleh pemerintah, muncul pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1965. Akhirnya Negara dalam keadaan darurat dan diambil alih oleh militer untuk menyelesaikan masalah. Orde Lama berakhir dan muncullah pemerintahan Orde Baru.
Pada Masa Orde Baru, program land reform dikubur dan dipetieskan karena dianggap sebagai programnya PKI. Padahal kenyataannya program nasional muncul lebih dulu sebelum PKI mendukung program land reform. Untuk melanggengkan kekuasaannya, isu anti komunis lalu digencarkan secara besar-besaran pada jaman Orde Baru. Tanah yang sudah jadi miliknya petani dan kaum tani direbut kembali dengan alasan tanah milik negara. Masyarakat tidak ada yang berani untuk meminta hak tananhnya kembali karena dianggap sebagai PKI. Semua organisasi yang ada dikebiri dan di bubarkan tidak boleh beraktifitas dalam hal politik. Semua organisasi pemuda dijadikan satu menjadi karang taruna, organisasi kaum perempuan yang ada dijadikan satu menjadi PKK, organisasi yang ada di sekolah dijadikan satu menjadi OSIS, dan masih banyak lagi organisasi yang lainnya. Militer digerakkan untuk mengawasi gerak-gerik masyarakat yang dianggap membahayan pemerintah, lalu muncul yang namanya AMD (ABRI Masuk Desa), dengan isu keamanan, militer membuat program siskamling yang sebetulnya adalah untuk mengawasi gerak-gerik masyarakat yang dianggap bahaya. Kebebasan berpolitik, berbicara di bungkam. Orientasi paradigma sudah bergeser dari populisme menjadi paradigma pembangunan yang terkenal dengan nama Revolusi Hijau dengan lebih mengutamakan swasembada pangan dengan cara intensifikasi pertanian dengan berbagai macam programnya mulai dari BIMAS, INSUS, SUPRA INSUS, PANCA USAHA TANI,dll. Program revolusi hijau dianggap berhasil dan sukses karena bisa mengurangi impor beras. Jika dilihat dari stabilitas ekonomi secara makro, program swasembada beras dianggap sukses dan berhasil tetapi hanya bagi kaum pemodal saja yang bisa menikmati keuntungan dan bukan para petani atau buruh tani kecil. Berawal dari hal tersebut di atas dibentuklah lembaga di tiap-tiap kecamatan dalam bentuk Koperasi Unit Desa yang sebetulnya determinasi konsep Ekonomi Kerakyatan dari Drs. Mohamad Hatta. Makna koperasi yang digambarkan Hatta berbeda dengan koperasi bentukan Orde Baru. Koperasi sebagai sebuah korporasi sosial dimana masyarakat bisa saling berkorporasi dan saling kerjasama dengan masyarakat yang lainnya dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup yang diatasi sehari-hari ternyata berubah menjadi koperasi sebagai sebuah lembaga profit orientied yang bertumpu pada modal. Keduanya sebenarnya sama-sama ingin mengentaskan kemiskinan yang ada di negeri ini dengan menumbuhkan organisasi masyarakat warga, tetapi dari pergeseran makna tersebut membawa implikasi yang berbeda pada metodologi serta pendekatan yang dipakai dalam mencapai tujuan sehingga dalam menetapkan indikator masyarakat yang sudah mandiri berbeda dimana masyarakat mandiri menurut versi Orde Baru adalah ketika lembaga yang terbangun bisa eksist dan berkembang tetapi tanpa melihat kondisi sosial masyarakatnya. Sehingga orientasi pembangunannya lebih ditekankan bagaimana lembaga yang terbangun dalam hal ini adalah KUD bisa maju dan berkembang usahanya. Pertanyaannya adalah ketika KUD bisa maju dan berkembang, apakah terjadi perubahan struktur sosial? Pengalaman selama berpuluh-puluh tahun sudah membuktikan bahwa KUD sudah tumbuh dan berkembang di berbagai daerah tetapi ternyata tidak ada perubahan dalam struktur sosial masyarakat. Perubahan hanya terjadi di atas permukaan saja tanpa bisa menyentuh dan memberikan perubahan sosial. Pembangunan hanya di tekankan bagaimana KUD bisa membuat administrasi pembukuan yang baik menurut ukuran organisasi masyarakat yang sudah modern. KUD di arahkan bagaimana KUD bisa mendapatkan keuntungan dan bisa melakukan perluasan usaha. Keuntungan sebagian besar hanya bisa dinikmati oleh para elite yang bisa duduk di KUD dan hanya sebagian kecil saja masyarakat yang bisa menikmati atas kehadiran KUD.
Setiap periode kepemimpinan membawa kebijakan yang berbeda, yang pada dasarnya akan membawa dampak yang berbeda pula terhadap perkembangan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari latar belakang paradigma yang dipakai oleh para penentu kebijakan. Persoalan di atas adalah sedikit gambaran tentang proses perjalanan organisasi masyarakat warga yang sejarah terbentuknya adalah karena inisiatif dari elite penguasa. Adalah sebuah proses perjalanan yang cukup panjang bagi sebuah organisasi masyarakat warga.
Komitmen antara BKM dan KSM harus terbangun sejak awal untuk bersama-sama bekerja dan membangun. Pada dasarnya komitmen antara KSM dengan BKM sudah terbangun sejak terbentuknya KSM. Cuma, persoalan yang terjadi di lapangan adalah komitmen yang terbangun tersebut tidak dibarengi dengan bukti administrasi secara tertulis. Hal ini perlu disadari bahwa kultur masyarakat masih kultur masyarakat yang tradisionil. Kultur mayarakat yang belum bisa memahami konsep organisasi secara modern yang penuh dengan berbagai macam bentuk administrasi yang serba njelimet. Masyarakat sudah terbiasa dengan cara-cara tradidionil yang tidak terlalu dibebani oleh berbagai macam administrasi beserta tetek bengeknya. Trust kepercayaan terbangun sejak mereka hidup dan tinggal secara bersama-sama dan andaikata ada yang mengingkari trust kepercayaan tersebut maka sangsi sosial yang berlaku. Hukum adatlah yang akan menentukan.
Kondisi tersebut juga terjadi ketika KSM dituntut untuk bisa menyusun proposal pengajuan BLM. Tetapi kenyataan yang terjadi hanya sebagian kecil KSM dan juga UPL yang bisa menyusun proposal sesuai standar yang disyaratkan. KSM tidak bisa menyusun proposal sesuai standar yang disyaratkan bukan berarti KSM dan UPL tidak bisa menyusun RAB. Pada dasarnya masyarakat sudah pinter dalam merencanakan dan menghitung anggaran biaya pekerjaan dengan bahasa mereka sendiri. Mereka sudah berpengalaman dalam hal proyek kegiatan lingkungan. Masyarakat sudah pinter mencari material yang dibutuhkan dengan harga yang murah dan berkualitas. Masyarakat juga sudah pinter apa yang harus dilakukan jika ada persoalan di lapangan seperti mengatasi persoalan bagaimana jika banyak tenaga kerja yang kerjanya hanya ogah-ogahan. Tetapi kondisi yang semacam itu tidak bisa dipahami oleh pihak ”konsultan”. RAB proposal dianggap salah dan menyalahi aturan karena format RAB proposal tidak sesuai dengan format baku yang sudah distandarkan. Sehingga proposal dan RAB harus dibenahi sesuai format standar. Adalah sebuah kecelakaan sejarah bagi proses pendampingan di masyarakat ketika proses itu sendiri tidak bisa memahami kondisi sosial dan kultur masyarakatnya. Hal tersebut disebabkan karena Kesalahan Frame Berpikir dari para penentu kebijakan. Kesalahan frame berpikir bisa kita telanjangi dari beberapa point di bawah ini:
1.     Tidak dibedakan antara prosedur yang harus dilalui dengan format yang dipakai. Bahwa ketika masyarakat harus melalui prosedur dan proses tahapan yang harus dilalui, ya........sepakat karena sebagai sebuah proses pembelajaran. Masyarakat memang harus melakukan tahapan dari ketiga review, masyarakat memang harus melalui proses pemberkasan BLM, masyarakat harus menyusun dan membuat proposal, dll. Tetapi kalau semua proses sudah dilakukan sesuai dengan tahapan yang ada kok masyarakat masih disalahkan hanya gara-gara proposal tidak sesuai dengan format standar.  Format baku memang harus ada, tetapi bukan berarti segala bentuk format kegiatan harus dibakukan. Format baku dibuat jika memang ada kegiatan yang sifatnya menyangkut persoalan-persoalan penting dan mendasar seperti pemberkasan BLM karena menyangkut kesepakatan dari berbagai pihak antara KSM-UP-BKM-PEMDES-KONSULTAN-SATKER. Tetapi kalau hanya format RAB saja dipersoalkan adalah sekali lagi merupakan sebuah kecelakaan sejarah dalam proses pendampingan di masyarakat. Karena pada dasarnya RAB adalah sebuah rencana anggaran biaya yang merupakan lampiran proposal, dimana proposal tersebut dibuat oleh KSM dan ditujukan kepada BKM. Artinya adalah bahwa yang memberikan penilaian layak atau tidaknya, benar tidaknya suatu proposal pengajuan adalah BKM. Dan bukan Konsultan atau pihak manapun. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Ketika format RAB tidak sesuai dengan format yang sudah dibakukan, maka konsultan dengan mudahnya mengakatan kepada BKM dan KSM bahwa RAB yang digunakan adalah salah dan perlu dibenahi. Mungkin kalau alasan yang dipakai adalah proses pembelajaran kepada masyarakat, maka perlu dipertanyakan kembali ”Pembelajaran Kepada Masyarakat yang seperti apa?”. Apakah pemberdayaan hanya berkutat pada persoalan administrasi saja? Kalau memang demikian adanya, maka tidak akan ada perubahan sosial dalam masyarakat.Adalah kesalahan frame berpikir yang pertama: Masyarakat dianggap bodoh dan tidak tahu tentang tata cara pembuatan proposal.
2.     Di sisi lain, KSM-UPL dan BKM merasa keberatan jika harus membuat RAB sesuai dengan format yang sudah dibakukan dengan alasan formatnya terlalu njelimet dan bikin mumet saja. Kesalahan frame berpikir yang kedua: Kacamata yang dipakai dalam menentukan kebijakan hendaknya memakai kacamata menurut ukuran masyarakat dan bukan kacamata menurut ukuran kaum intelektual yang penuh berbagai macam ”teori”. Pertanyaannya adalah : masyarakat yang bodoh tidak bisa memahami frame berpikir para konseptor atau sebetulnya kaum intelektual-lah yang belum mampu memahami pola pikir masyarakat? Dalam menyusun format hendaknya disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat dan bukan didasarkan atas pola pikir kaum intelektual. Masyarakat sudah terbiasa berpikir dengan cara-cara sederhana tetapi mudah dipahami. Mau dibuat format RAB yang sederhana samapi format yang paling rumitpun sebenarnya secara substansial sama. RAB bisa dibaca dan mudah dipahami oleh masyarakat.
3.     Kesalahan frame berpikir yang ketiga: adalah belum bisa memahami bahwa tipologi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dengan berbagai macam kultur dan budaya. Mereka punya kesenian tradisional sendiri, punya pakaian, bahasa dan adat serta tata cara sendiri. Ada pepatah jawa mengakatan ”Deso Mowo Coro, Negoro Mowo Toto” yang artinya setiap desa atau daerah punya cara dan adat tersendiri sedangkan negara memiliki aturan. Hal ini jelas tidak bisa diseragamkan dalam segala bentuknya termasuk format RAB dalam proposal. Hal serupa juga terjadi di tingkatan UPK. Bahwa semua format pembukuan UPK harus diseragamkan. Tapi yang terjadi banyak UPK yang enggan bahkan tidak mau sama sekali melakukan pembenahan administrasi pembukuan, kecuali bagi UPK yang mau saja. Pertanyaannya adalah kenapa banyak UPK yang tidak mau melakukan pembenahan administrasi pembukuan sesuai dengan satandar yang dibakukan? Seperti pepatah jawa diatas bahwa UPK dan KSM sudah memiliki cara tersendiri. Sudah memiliki kemampuan tersendiri yang menurut mereka sederhana dan mudah dipahami. Mereka sudah cukup banyak belajar dari pengalaman mereka menjadi pedagang, menjadi juru tulis, menjadi sekretaris di suatu perusahaan, dll, disamping mereka juga hampir sebagian besar pernah mengenyam pendidikan sekolah. Maka tidaklah aneh jika banyak UPK atau KSM yang enggan untuk melakukan pembenahan administrasi pembukuan karena dianggapnya format yang diberikan amat sangat terlalu njelimet di samping KSM atau UPK punya kegiatan aktifitas ekonomi atau sosial sendiri di luar kegiatan PNPM-P2KP. Kemudian jika UPK atau KSM tidak mau melakukan pembenahan pembukuan dianggap malas dan ingin mencari enaknya sendiri. Pertanyaanya adalah sebenarnya yang ingin mencari mudahnya sendiri KSM dan UPK atau sebetulnya pihak konsultan? Konsultan dengan alasannya mengatakan sulit melakukan monitoring perkembangan UPK karena format pembukuan yang tidak seragam. Maka sebaiknya format pembukuan di UPK diseragamkan karena akan merasa lebih mudah dalam monitoring perkembangan UPK jika semua pembukuan di tingkat UPK sudah seragam. Bukankah hal tersebut ingin mencari enaknya sendiri dengan mengorbankan kemampuan UPK dan KSM untuk berkreasi. Membunuh kreatifitas masyarakat menurut cara dan kemampuan mereka sendiri. Jika memang demikian adanya maka pemberdayaan terjebak pada persoalan bagaimana mendorong KSM dan UPK untuk membenahi format pembukuan yang salah menurut ukuran kaum intelektual tetapi tidak berusaha mendorong bagaimana mencari solusi pemecahan masalah ketika ada penyimpangan dana di tingkat BKM-UPK dan KSM karena disibukkan oleh administrasi yang begitu njelimet.
4.     Posisi fasilitator dimana? Posisi fasilitator dalam hal ini tidak lain dan tidak lebih hanyalah sebagai juru tulis yang mengajarkan pada UPK atau KSM tentang format pembukuan dan format RAB. Ini adalah realitas yang terjadi di lapangan. Asumsinya adalah fasilitator sebagai pendorong masyarakat kearah perubahan sosial. Mendorong pada masyarakat untuk bergerak dan melakukan pembenahan terhadap kinerja BKM dan UP-UP jika ada penyimpangan penggunaan dana. Mendorong masyarakat untuk bergerak bersama sama membangun sebuah sistem yang transparan dan akuntabel. Mendorong masyarakat bisa menjadi kontrol sosial terhadap kebijakan yang ada di tingkat desa baik kebijakan yang dihasilkan oleh BKM maupun kebijakan yang dihasilkan dari pemerintah desa termasuk semua kebijakan dari lembaga yang ada di tingkat desa menuju kearah perubahan sosial. Kalau posisi fasilitator hanya sebagai juru tulis atau juru hitung saja, maka perubahan sosial yang terjadi hanyalah perubahan yang sifatnya formalitas belaka. Perubahan yang hanya menyentuh permukaan luarnya saja tanpa bisa menyentuh kondisi sosial masyarakat. Ini adalah kondisi yang ada dan merupakan kesalahan frame berpikir juga.

Berawal dari pembacaan realitas yang ada bahwa kultur yang ada di masyarakat adalah masyarakat yang tarafnya masih taraf masyarakat tradisionil maka BKM dibentuk bukan sebagai sebuah organisasi modern tetapi sebagai sebuah paguyuban yang merupakan korporasi sosial untuk bisa bergerak bersama-sama dengan masyarakat dan seluruh komponen yang ada sehingga BKM lebih merupakan reprsentasi dari kepentingan masyarakat terutama masyarakat miskin yang tidak berdaya. BKM terbentuk bukan sebagai lembaga yang modern dan bukan pula sebuah lembaga yang profit orientied yang selalu mengejar keuntungan. Tapi nampaknya sekarang sudah terjadi pergeseran dimana BKM sebagai organisasi masyarakat yang masyarakatnya sendiri tumbuh dan berkembang dengan cara-cara tradisional dipaksa untuk menjadi masyarakat yang katanya adalah masyarakat modern. Sejarah terulang kembali ketika Orde Baru membentuk KUD, yang terjadi adalah menguatnya lembaga yang moderen dengan berbagai perangkat administrasi yang begitu njelimet. Pertanyaannya adalah apakah prasyarat serta prakondisinya sudah siap untuk melakukan ”Transformasi Sosial” dari masyarakat tradisionil menuju masyarakat yang modern? Apakah kultur dan nature sudah mendukung untuk ”Transformasi Sosial”? Gerak perkembangan masyarakat tidak lepas dari bagaimana masyarakat memikul dan dipikul nature. Kalau proses pendampingan hanya sebatas pembenahan administrasi belaka, selamanya tidak akan terpenuhi prasyarat serta prakondisinya karena masyarakat tidak sempat untuk berpikir secara kritis. Masyarakat menjadi bodoh dan buntu dalam berpikir menghadapi persoalan-persoalan yang ada di desanya karena hanya disibukkan oleh persoalan administrasi saja. Kalau masyarakat sudah buntu untuk berpikir secara kritis, maka Transformasi sosial tidak mungkin bisa terjadi. Andaikata terjadi hanyalah transformasi sosial yang berifat permukaan saja, dari organisasi yang dianggap tradisionil menjadi moderen dengan berbagai macam perangkat organisasinya yang begitu njelimet serta ruwet oleh adminitrasi tetapi belum bisa menyentuh pokok persoalan kemiskinan yang ada.
KESIMPULAN
BKM dibentuk bukan sebagai sebuah organisasi modern tetapi sebagai sebuah paguyuban yang merupakan korporasi sosial untuk bisa bergerak bersama-sama dengan masyarakat dan seluruh komponen yang ada sehingga BKM lebih merupakan reprsentasi dari kepentingan masyarakat terutama masyarakat miskin yang tidak berdaya. BKM terbentuk bukan sebagai lembaga yang modern dan bukan pula sebuah lembaga yang profit orientied yang selalu mengejar keuntungan. Tapi nampaknya sekarang sudah terjadi pergeseran dimana BKM sebagai organisasi masyarakat yang masyarakatnya sendiri tumbuh dan berkembang dengan cara-cara tradisional dipaksa untuk menjadi masyarakat yang katanya adalah masyarakat modern. Sejarah terulang kembali ketika Orde Baru membentuk KUD, yang terjadi adalah menguatnya lembaga yang moderen dengan berbagai perangkat administrasi yang begitu njelimet. Pertanyaannya adalah apakah prasyarat serta prakondisinya sudah siap untuk melakukan ”Transformasi Sosial” dari masyarakat tradisionil menuju masyarakat yang modern? Apakah kultur dan nature sudah mendukung untuk ”Transformasi Sosial”? Gerak perkembangan masyarakat tidak lepas dari bagaimana masyarakat memikul dan dipikul nature. Kalau proses pendampingan hanya sebatas pembenahan administrasi belaka, selamanya tidak akan terpenuhi prasyarat serta prakondisinya karena masyarakat tidak sempat untuk berpikir secara kritis. Masyarakat menjadi bodoh dan buntu dalam berpikir menghadapi persoalan-persoalan yang ada di desanya karena hanya disibukkan oleh persoalan administrasi saja. Kalau masyarakat sudah buntu untuk berpikir secara kritis, maka Transformasi sosial tidak mungkin bisa terjadi. Andaikata terjadi hanyalah transformasi sosial yang berifat permukaan saja, dari organisasi yang dianggap tradisionil menjadi moderen dengan berbagai macam perangkat organisasinya yang begitu njelimet serta ruwet oleh adminitrasi tetapi belum bisa menyentuh pokok persoalan kemiskinan yang ada di Indonesia tercinta ini.
Yang perlu dijelaskan adalah, format PROPOSAL, RAB dan LPJ yang sudah dibakukan tersebut sebenarnya memakai standar kemampuan siapa? Apakah disesuaikan dengan standar kemampuan masyarakat atau standar konsultan? Kalau standar yang dipakai adalah standar kemampuan masyarakat, masyarakat yang mana? Masyarakat Jakarta........, Aceh......., Padang......, atau Papau........., atau masyarakat yang mana.........??? Masyarakat Desa atau Kota, Masyarakat Miskin atau Elite....??? Kalau format baku yang dibuat berdasarkan kemampuan masyarakat kota dan elite yang sudah terbiasa dengan budaya tulis menulis mungkin mereka (masyarakat kota atau elite) akan mampu untuk mengaplikasikannya, itu saja mungkin hanya sebagian kecil masyarakat kota atau elite yang bisa/mampu serta mau. Apalagi bagi masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan apakah akan mampu mengaplikasikannya? Masyarakat desa sudah terbiasa dengan kerja-kerja kasar menjadi tukang becak, menjadi tani dan buruh tani, menjadi buruh angkut di pasar, dan lain sebagainya tentunya tidak bisa dipaksakan dengan kerja-kerja yang administrasi yang terlalu njelimet. Mereka tidak terbiasa dengan budaya tulis menulis karena alam telah mendidik mereka dengan kerja-kerja kasar di lapangan dan tidak pernah dididik untuk kerja-kerja di perkantoran, instansi, lembaga, dll. Yang lebih parah lagi adalah jika format LPJ KSM didasarkan atas kemampuan konsultan yang notabenenya adalah kaum intelektual yang sudah terbiasa dengan budaya berpikir dan tulis menulis. Kaum intelektual yang sudah terbiasa dan tidak asing dengan komputer, laptop, HP, kalkulator, bolpoin, pensil dll. Tapi bagi masyarakat? Apakah mereka juga sudah terbiasa dengan kerja-kerja seperti para konsultan? Jika memang benar kacamata yang dipakai adalah kacamata para konsultan, ada dua hal yang seharusnya tidak terjadi :
1.     Masyarakat hanya akan bergantung pada fasilitator karena mereka merasa tidak mampu untuk mengerjakannya. Kalau masyarakat sudah mengalami ketergantungan kepada fasilitator, maka selamanya masyarakat akan selalu bodoh dan tidak akan pernah berdaya apalagi mandiri.
2.       Fasilitator yang seharusnya berperan sebagai pendorong masyarakat untuk bekerja dan bergerak, tetapi malah justru dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pekerja. Kalau posisi fasilitator sudah bergeser menjadi pekerja bagi masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pergeseran fungsi pemberdayaan ke arah komersialisasi proses pendampingan.

REKOMENDASI
1.     Tipologi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dengan berbagai macam kultur dan budayanya sehingga persoalan yang terjadi di masyarakat sangatlah komplek sifatnya, maka tidak bisa mengeneralisasi suatu keadan, sehingga butuh strategi dan pendekatan yang berbeda dalam menangani persoalan yang terjadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Kebijakan yang sifatnya sentralistis hendaknya di desentralisasikan di tingkat Koordinator Kabupaten / Kota. Masyarakat hendak berkreasi dalam proses perencanaan dengan berbagai macam kreatifitasnya tetapi ketika ada kebijakan bahwa format PROPOSAL, RAB dan LPJ ditentukan dari pusat dan masyarakat dipaksa untuk mengikuti Format Standar RAB yang dibakukan. Hal ini justru membunuh karakter masyarakat. 
2.     Proses penggalian data sangatlah perlu untuk melakukan analisis terhadap perkembangan organisasi yang terbangun di masyarakat (BKM dan UP-UP). Tetapi hendaknya jangan terjebak pada persoalan-persoalan administrasi belaka karena hanya akan mereduksi langkah gerak pendampingan untuk sebuah perubahan sosial menuju pada sebuah tatanan sosial yang madani (civil society).
3.     Aktifitas Tim Fasilitator di lapangan sangatlah menentukan arah BKM kedepan, untuk itu perkuat aktifitas di lapangan. Belajar dan bekerja bersama masyarakat akan bisa lebih memahami kondisi riil yang ada.


Kenalkan PRODUKMU pada DUNIA
Maka DUNIA akan mengenal PRODUKMU

Ingin pasarkan PRODUKMU…?
Ingin iklan GRATIS…?
Kontrak Iklan SELAMANYA…?

Kirimkan artikel produkmu di
Melalui email :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar