BELAJAR
DARI PNPM – MP
KILAS
BALIK
J.W.F.
Hegel seorang filsuf dari jerman mengatakan bahwa Sejarah bukan hanya sekedar rangkaian
peristiwa saja melainkan dalam setiap peristiwa tersebut ada dialektika
perkembangan pemikiran manusia sehingga akan terjadi benturan peradaban yang
terus menerus tiada henti. Sejarah
adalah kuburan, demikian kata vilfredo pareto, seorang insinyur yang sekaligus
seorang ekonom dan juga sosiolog. Nampaknya penulis sepakat dengan pendapat Hegel,
karena tanpa sejarah, kita tidak akan pernah ada. Sejarah berlangsung bersama
berlangsungnya kehidupan kita. Dari sejarah, kita bisa belajar melihat
kesalahan, dan dari situ kita berusaha memperbaiki langkah kita di masa depan. Untuk
itu Jangan Sekali-kali Meninggalkan sejarah demikian soekarno bilang. Demikian
juga BKM sebagai sebuah organisasi masyarakat warga dalam proses
perjalanannyapun harus belajar dari sejarah organisasi masyarakat warga yang
ada sebelumnya. Untuk itu mari kita
tengok sebentar tentang sekelumit sejarah perjalanan organisasi masyarakat
warga dari jaman kolonial hingga saat ini.
Historical
Moment
Masyarakat belum sempat keluar dari
sistem feodalisme harus dipaksa dan tunduk pada sistem kolonialisme asing yang
penuh dengan syarat penindasan dan penghisapan dan lebih parah jika
dibandingkan pada saat jaman feodal. Kemiskinan dan kelaparan tumbuh di
mana-mana. Sumber daya alam dieksploitasi secara besar-besaran terlebih ketika
VOC menerapkan kebijakan politik pintu terbuka dengan undang-undangnya yang
terkenal Agrarische Wet 1870. Modal
asing masuk dan mencengkramkan kuku imperialismenya untuk melakukan eksploitasi
sumber daya alam yang ada di Indonesia. Aras perkembangan liberalisasi asset
asing demikian gencarnya menancapkan kuku-kukunya di Indonesia melalui berbagai
macam bentuknya melalui regulasi kebijakan yang ada, dimana kebijakan sebagai
payung hukum untuk mengamankan segala bentuk aset yang dimiliki. Mulai sejak
masuknya VOC di Indonesia pada tahun 1511, kaum liberal mendesakkan regulasi
kebijakan yang dinamakan UU Agraria yang terkenal dengan nama Agrarice Wet
pada tahun 1870. Dengan adanya undang-undang tersebut maka dengan leluasanya
modal-modal asing masuk ke Indonesia dan melakukan eksploitasi secara
besar-besaran terhadap Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia. Kebijakan
tersebut telah membawa dampak pada proses pemiskinan yang terjadi dimana-mana. Kelaparan terjadi dimana-mana. Masyarakat telah banyak
menderita sengsara sebagai akibat dari kebijakan yang sangat ekspolitatip.
Karena kebijakan yang ditelurkan tersebut tidak berpihak pada rakyat serta
menimbulkan kemiskinan dan juga kelaparan dimana-mana, maka muncullah
perlawanan terhadap kebijakan yang ada. Melihat kondisi yang serba kekurangan,
miskin dan kelaparan terjadi dimana-mana maka muncullah kesadaran masyarakat
untuk membentuk sebuah organisasi pergerakan sebagai aksi perlawanan terhadap
kolonialisme dan imperialisme asing. Sarekat Dagang Islam muncul atas dasar
perlawanan dan ingin memotong arus perdagangan Cina, Sarekat Islam yang embrionya
adalah SDI bergeser kearah politik yang tadinya berorientasi pada ekonomi saja,
Budi Utomo muncul walaupun sifatnya masih kedaerahan dan sangat Jawa centris
yang anggotanya mayoritas kaum bangsawan Jawa, kemudian Perhimpunan Indonesia
adalah organisasi pemuda yang pertama kali memakai nama Indonesia, dll. Organisasi-organisasi
tersebut diatas muncul atas dasar kesadaran masyarakat dan bukan muncul atas
dasar inisiatif dari golongan elite penguasa yang pada akhirnya pada tahun 1945
terjadi perubahan yang sangat revolusioner terhadap kebijakan yang ada dimana
system social dirombak secara total. Sehingga semua kebijakan yang tadinya
hanyalah menguntungkan pihak asing, diganti seluruhnya sesuai dengan keinginan
masyarakat Indonesia seluruhnya.
Para pendiri Negara mencoba
mendobrak tatanan social dari system colonial dimana pendekatan yang dipakai
adalah pendekatan structural dengan programnya redistribusi tanah yang sering
dikenal dengan nama land reform dimana
pola kepemilikan tanah dibatasi dan memberikan tanah bagi kaum tani dan buruh
tani yang tidak memiliki tanah agar bisa bekerja dan dapat hidup layak bebas
dari kemiskinan. Oleh pemerintah program tersebut dianggap sebagai program yang
sangat strategis melihat kondisi masyarakat dimana struktur masyarakat
Indonesia adalah struktur masyarakat agraris, lalu diangkatlah land reform sebagai program nasional. Maka
pemerintah mencanangkan program tersebut. Berbagai macam organisasi politik,
organisasi masa, organisasi masyarakat dari berbagai macam golongan muncul dan
sangat diberikan keleluasaan dalam menentukan pilihan atau lebih tepatnya
menyuarakan aspirasi. Di masa Orde Lama, organisasi muncul atas inisiatif
masyarakat sendiri. Tetapi perlu disadari bahwa inisiatif untuk membentuk
organisasi bukan murni atas inisiatif murni dari masyarakat itu sendiri. Hal
ini ditandai dengan adanya pidato bung Hatta yang menginstruksikan kepada
seluruh lapisan masyarakat untuk membentuk organisasi dalam memperjuangkan
aspirasinya untuk menuju Negara yang demokratis. Salah satu organisasi yang ada
dan dianggap sebagai organisasi terlarang pada saat Orde Baru yaitu PKI
mendukung program pemerintah yaitu program land
reform. Namun dalam proses perjalanannyapun tidaklah semulus apa yang
diharapkan, konflik horizontal terjadi antara kaum tani dan buruh tani
berhadapan dengan tuan tanah. Kaum tani dan buruh tani kecil sudah tidak sabar
untuk mendapatkan hak milik atas tanah, di sisi lain kaum tuan tanah tidak rela
jika sebagian tanahnya diambil pemerintah untuk diberikan kepada kaum tani dan
buruh tani. Tuan tanah melakukan aksi sepihak, merebut tanahnya kembali yang
telah diberikan kepada kaum tani dan buruh tani. Program sedang berjalan,
konflik terjadi di tingkatan grass root, rawan pangan dan kelaparan terjadi di
mana-mana. Isu tersebut ditangkap oleh PKI, dan PKI berpihak pada kaum tani dan
buruh tani kecil dengan cara aksi sepihak pula merebut kembali tanah yang sudah
jadi hak miliknya kaum tani dan buruh tani dengan cara menanami tanaman di
tanah miliknya yang telah direbut oleh kaum tuan tanah. Konflik yang belum
sempat diselesaikan oleh pemerintah, muncul pemberontakan yang dilakukan oleh
PKI pada tahun 1965. Akhirnya Negara dalam keadaan darurat dan diambil alih
oleh militer untuk menyelesaikan masalah. Orde Lama berakhir dan muncullah
pemerintahan Orde Baru.
Pada Masa Orde Baru, program land
reform dikubur dan dipetieskan karena dianggap sebagai programnya PKI. Padahal
kenyataannya program nasional muncul lebih dulu sebelum PKI mendukung program
land reform. Untuk melanggengkan kekuasaannya, isu anti komunis lalu
digencarkan secara besar-besaran pada jaman Orde Baru. Tanah yang sudah jadi
miliknya petani dan kaum tani direbut kembali dengan alasan tanah milik negara.
Masyarakat tidak ada yang berani untuk meminta hak tananhnya kembali karena
dianggap sebagai PKI. Semua organisasi yang ada dikebiri dan di bubarkan tidak
boleh beraktifitas dalam hal politik. Semua organisasi pemuda dijadikan satu
menjadi karang taruna, organisasi kaum perempuan yang ada dijadikan satu
menjadi PKK, organisasi yang ada di sekolah dijadikan satu menjadi OSIS, dan
masih banyak lagi organisasi yang lainnya. Militer digerakkan untuk mengawasi
gerak-gerik masyarakat yang dianggap membahayan pemerintah, lalu muncul yang
namanya AMD (ABRI Masuk Desa), dengan isu keamanan, militer membuat program
siskamling yang sebetulnya adalah untuk mengawasi gerak-gerik masyarakat yang
dianggap bahaya. Kebebasan berpolitik, berbicara di bungkam. Orientasi paradigma
sudah bergeser dari populisme menjadi paradigma pembangunan yang terkenal
dengan nama Revolusi Hijau dengan lebih mengutamakan swasembada pangan dengan cara
intensifikasi pertanian dengan berbagai macam programnya mulai dari BIMAS, INSUS,
SUPRA INSUS, PANCA USAHA TANI,dll. Program revolusi hijau dianggap berhasil dan
sukses karena bisa mengurangi impor beras. Jika dilihat dari stabilitas ekonomi
secara makro, program swasembada beras dianggap sukses dan berhasil tetapi
hanya bagi kaum pemodal saja yang bisa menikmati keuntungan dan bukan para
petani atau buruh tani kecil. Berawal dari hal tersebut di atas dibentuklah
lembaga di tiap-tiap kecamatan dalam bentuk Koperasi Unit Desa yang sebetulnya determinasi konsep Ekonomi Kerakyatan dari Drs. Mohamad Hatta.
Makna koperasi yang digambarkan Hatta berbeda dengan koperasi bentukan Orde
Baru. Koperasi sebagai sebuah korporasi sosial dimana masyarakat bisa saling
berkorporasi dan saling kerjasama dengan masyarakat yang lainnya dalam
menghadapi persoalan-persoalan hidup yang diatasi sehari-hari ternyata berubah
menjadi koperasi sebagai sebuah lembaga profit orientied yang bertumpu pada
modal. Keduanya sebenarnya sama-sama ingin mengentaskan kemiskinan yang ada di
negeri ini dengan menumbuhkan organisasi masyarakat warga, tetapi dari pergeseran
makna tersebut membawa implikasi yang berbeda pada metodologi serta pendekatan
yang dipakai dalam mencapai tujuan sehingga dalam menetapkan indikator
masyarakat yang sudah mandiri berbeda dimana masyarakat mandiri menurut versi
Orde Baru adalah ketika lembaga yang terbangun bisa eksist dan berkembang
tetapi tanpa melihat kondisi sosial masyarakatnya. Sehingga orientasi
pembangunannya lebih ditekankan bagaimana lembaga yang terbangun dalam hal ini
adalah KUD bisa maju dan berkembang usahanya. Pertanyaannya adalah ketika KUD
bisa maju dan berkembang, apakah terjadi perubahan struktur sosial? Pengalaman
selama berpuluh-puluh tahun sudah membuktikan bahwa KUD sudah tumbuh dan
berkembang di berbagai daerah tetapi ternyata tidak ada perubahan dalam
struktur sosial masyarakat. Perubahan
hanya terjadi di atas permukaan saja tanpa bisa menyentuh dan memberikan
perubahan sosial. Pembangunan hanya di tekankan bagaimana KUD bisa membuat
administrasi pembukuan yang baik menurut ukuran organisasi masyarakat yang
sudah modern. KUD di arahkan bagaimana KUD bisa mendapatkan keuntungan dan bisa
melakukan perluasan usaha. Keuntungan sebagian besar hanya bisa dinikmati oleh
para elite yang bisa duduk di KUD dan hanya sebagian kecil saja masyarakat yang
bisa menikmati atas kehadiran KUD.
Setiap periode kepemimpinan membawa
kebijakan yang berbeda, yang pada dasarnya akan membawa dampak yang berbeda
pula terhadap perkembangan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari latar belakang paradigma yang dipakai oleh para
penentu kebijakan. Persoalan di atas adalah sedikit gambaran tentang proses
perjalanan organisasi masyarakat warga yang sejarah terbentuknya adalah karena
inisiatif dari elite penguasa. Adalah sebuah proses perjalanan yang cukup
panjang bagi sebuah organisasi masyarakat warga.
Komitmen antara BKM dan KSM harus
terbangun sejak awal untuk bersama-sama bekerja dan membangun. Pada dasarnya
komitmen antara KSM dengan BKM sudah terbangun sejak terbentuknya KSM. Cuma,
persoalan yang terjadi di lapangan adalah komitmen yang terbangun tersebut
tidak dibarengi dengan bukti administrasi secara tertulis. Hal ini perlu
disadari bahwa kultur masyarakat masih kultur masyarakat yang tradisionil.
Kultur mayarakat yang belum bisa memahami konsep organisasi secara modern yang
penuh dengan berbagai macam bentuk administrasi yang serba njelimet. Masyarakat
sudah terbiasa dengan cara-cara tradidionil yang tidak terlalu dibebani oleh
berbagai macam administrasi beserta tetek bengeknya. Trust kepercayaan
terbangun sejak mereka hidup dan tinggal secara bersama-sama dan andaikata ada
yang mengingkari trust kepercayaan tersebut maka sangsi sosial yang berlaku.
Hukum adatlah yang akan menentukan.
Kondisi tersebut juga terjadi ketika
KSM dituntut untuk bisa menyusun proposal pengajuan BLM. Tetapi kenyataan yang
terjadi hanya sebagian kecil KSM dan juga UPL yang bisa menyusun proposal
sesuai standar yang disyaratkan. KSM tidak bisa menyusun proposal sesuai
standar yang disyaratkan bukan berarti KSM dan UPL tidak bisa menyusun RAB.
Pada dasarnya masyarakat sudah pinter dalam merencanakan dan menghitung
anggaran biaya pekerjaan dengan bahasa mereka sendiri. Mereka sudah
berpengalaman dalam hal proyek kegiatan lingkungan. Masyarakat sudah pinter
mencari material yang dibutuhkan dengan harga yang murah dan berkualitas. Masyarakat
juga sudah pinter apa yang harus dilakukan jika ada persoalan di lapangan
seperti mengatasi persoalan bagaimana jika banyak tenaga kerja yang kerjanya
hanya ogah-ogahan. Tetapi kondisi yang semacam itu tidak bisa dipahami oleh
pihak ”konsultan”. RAB proposal dianggap salah dan menyalahi aturan karena format
RAB proposal tidak sesuai dengan format baku yang sudah distandarkan. Sehingga
proposal dan RAB harus dibenahi sesuai format standar. Adalah sebuah kecelakaan
sejarah bagi proses pendampingan di masyarakat ketika proses itu sendiri tidak
bisa memahami kondisi sosial dan kultur masyarakatnya. Hal tersebut disebabkan
karena Kesalahan Frame Berpikir dari
para penentu kebijakan. Kesalahan frame berpikir bisa kita telanjangi dari
beberapa point di bawah ini:
1. Tidak dibedakan antara prosedur yang harus dilalui dengan format
yang dipakai. Bahwa ketika masyarakat harus melalui prosedur dan proses tahapan
yang harus dilalui, ya........sepakat karena sebagai sebuah proses
pembelajaran. Masyarakat memang harus melakukan tahapan dari ketiga review,
masyarakat memang harus melalui proses pemberkasan BLM, masyarakat harus
menyusun dan membuat proposal, dll. Tetapi kalau semua proses sudah dilakukan
sesuai dengan tahapan yang ada kok masyarakat masih disalahkan hanya gara-gara
proposal tidak sesuai dengan format standar. Format baku memang harus ada, tetapi bukan
berarti segala bentuk format kegiatan harus dibakukan. Format baku dibuat jika
memang ada kegiatan yang sifatnya menyangkut persoalan-persoalan penting dan
mendasar seperti pemberkasan BLM karena menyangkut kesepakatan dari berbagai
pihak antara KSM-UP-BKM-PEMDES-KONSULTAN-SATKER. Tetapi kalau hanya format RAB
saja dipersoalkan adalah sekali lagi merupakan sebuah kecelakaan sejarah dalam
proses pendampingan di masyarakat. Karena pada dasarnya RAB adalah sebuah
rencana anggaran biaya yang merupakan lampiran proposal, dimana proposal
tersebut dibuat oleh KSM dan ditujukan kepada BKM. Artinya adalah bahwa yang
memberikan penilaian layak atau tidaknya, benar tidaknya suatu proposal pengajuan
adalah BKM. Dan bukan Konsultan atau pihak manapun. Tetapi yang terjadi adalah
sebaliknya. Ketika format RAB tidak sesuai dengan format yang sudah dibakukan,
maka konsultan dengan mudahnya mengakatan kepada BKM dan KSM bahwa RAB yang
digunakan adalah salah dan perlu dibenahi. Mungkin kalau alasan yang dipakai
adalah proses pembelajaran kepada masyarakat, maka perlu dipertanyakan kembali ”Pembelajaran Kepada Masyarakat yang
seperti apa?”. Apakah pemberdayaan hanya berkutat pada persoalan administrasi
saja? Kalau memang demikian adanya, maka tidak akan ada perubahan sosial
dalam masyarakat.Adalah kesalahan frame berpikir yang pertama: Masyarakat
dianggap bodoh dan tidak tahu tentang tata cara pembuatan proposal.
2. Di sisi lain, KSM-UPL dan BKM merasa keberatan jika harus membuat RAB
sesuai dengan format yang sudah dibakukan dengan alasan formatnya terlalu
njelimet dan bikin mumet saja. Kesalahan frame berpikir yang kedua: Kacamata yang dipakai dalam
menentukan kebijakan hendaknya memakai kacamata menurut ukuran masyarakat dan
bukan kacamata menurut ukuran kaum intelektual yang penuh berbagai macam
”teori”. Pertanyaannya adalah : masyarakat yang bodoh tidak bisa memahami
frame berpikir para konseptor atau sebetulnya kaum intelektual-lah yang belum mampu
memahami pola pikir masyarakat? Dalam menyusun format hendaknya
disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat dan bukan didasarkan atas pola
pikir kaum intelektual. Masyarakat sudah terbiasa berpikir dengan cara-cara
sederhana tetapi mudah dipahami. Mau dibuat format RAB yang sederhana samapi
format yang paling rumitpun sebenarnya secara substansial sama. RAB bisa dibaca dan mudah dipahami oleh masyarakat.
3. Kesalahan frame berpikir yang ketiga:
adalah belum bisa memahami bahwa tipologi masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang majemuk dengan berbagai macam kultur dan budaya. Mereka punya
kesenian tradisional sendiri, punya pakaian, bahasa dan adat serta tata cara
sendiri. Ada pepatah jawa mengakatan ”Deso Mowo Coro, Negoro Mowo Toto” yang artinya setiap desa atau daerah punya cara dan adat tersendiri
sedangkan negara memiliki aturan. Hal ini jelas tidak bisa diseragamkan dalam segala bentuknya termasuk
format RAB dalam proposal. Hal serupa juga terjadi di tingkatan UPK. Bahwa
semua format pembukuan UPK harus diseragamkan. Tapi yang terjadi banyak UPK
yang enggan bahkan tidak mau sama sekali melakukan pembenahan administrasi
pembukuan, kecuali bagi UPK yang mau saja. Pertanyaannya adalah kenapa banyak
UPK yang tidak mau melakukan pembenahan administrasi pembukuan sesuai dengan
satandar yang dibakukan? Seperti pepatah jawa diatas bahwa UPK dan KSM sudah
memiliki cara tersendiri. Sudah memiliki kemampuan tersendiri yang menurut
mereka sederhana dan mudah dipahami. Mereka sudah cukup banyak belajar dari pengalaman
mereka menjadi pedagang, menjadi juru tulis, menjadi sekretaris di suatu
perusahaan, dll, disamping mereka juga hampir sebagian besar pernah mengenyam
pendidikan sekolah. Maka tidaklah aneh jika banyak UPK atau KSM yang enggan
untuk melakukan pembenahan administrasi pembukuan karena dianggapnya format
yang diberikan amat sangat terlalu njelimet di samping KSM atau UPK punya
kegiatan aktifitas ekonomi atau sosial sendiri di luar kegiatan PNPM-P2KP. Kemudian
jika UPK atau KSM tidak mau melakukan pembenahan pembukuan dianggap malas dan
ingin mencari enaknya sendiri. Pertanyaanya adalah sebenarnya yang ingin
mencari mudahnya sendiri KSM dan UPK atau sebetulnya pihak konsultan? Konsultan
dengan alasannya mengatakan sulit melakukan monitoring perkembangan UPK karena
format pembukuan yang tidak seragam. Maka sebaiknya format pembukuan di UPK
diseragamkan karena akan merasa lebih mudah dalam monitoring perkembangan UPK
jika semua pembukuan di tingkat UPK sudah seragam. Bukankah hal tersebut ingin
mencari enaknya sendiri dengan mengorbankan kemampuan UPK dan KSM untuk
berkreasi. Membunuh kreatifitas masyarakat menurut cara dan kemampuan mereka
sendiri. Jika memang demikian adanya maka pemberdayaan terjebak pada persoalan
bagaimana mendorong KSM dan UPK untuk membenahi format pembukuan yang salah
menurut ukuran kaum intelektual tetapi tidak berusaha mendorong bagaimana mencari
solusi pemecahan masalah ketika ada penyimpangan dana di tingkat BKM-UPK dan
KSM karena disibukkan oleh administrasi yang begitu njelimet.
4. Posisi fasilitator
dimana? Posisi fasilitator dalam hal ini tidak lain dan tidak
lebih hanyalah sebagai juru tulis yang mengajarkan pada UPK atau KSM tentang
format pembukuan dan format RAB. Ini adalah realitas yang terjadi di lapangan.
Asumsinya adalah fasilitator sebagai pendorong masyarakat kearah perubahan
sosial. Mendorong pada masyarakat untuk bergerak dan melakukan pembenahan terhadap
kinerja BKM dan UP-UP jika ada penyimpangan penggunaan dana. Mendorong
masyarakat untuk bergerak bersama sama membangun sebuah sistem yang transparan
dan akuntabel. Mendorong masyarakat bisa menjadi kontrol sosial terhadap
kebijakan yang ada di tingkat desa baik kebijakan yang dihasilkan oleh BKM
maupun kebijakan yang dihasilkan dari pemerintah desa termasuk semua kebijakan
dari lembaga yang ada di tingkat desa menuju kearah perubahan sosial. Kalau
posisi fasilitator hanya sebagai juru tulis atau juru hitung saja, maka
perubahan sosial yang terjadi hanyalah perubahan yang sifatnya formalitas
belaka. Perubahan yang hanya menyentuh permukaan luarnya saja tanpa bisa
menyentuh kondisi sosial masyarakat. Ini adalah kondisi yang ada dan merupakan
kesalahan frame berpikir juga.
Berawal dari pembacaan realitas yang ada bahwa kultur yang ada di
masyarakat adalah masyarakat yang tarafnya masih taraf masyarakat tradisionil
maka BKM dibentuk bukan sebagai sebuah organisasi modern tetapi sebagai sebuah
paguyuban yang merupakan korporasi sosial untuk bisa bergerak bersama-sama
dengan masyarakat dan seluruh komponen yang ada sehingga BKM lebih merupakan reprsentasi
dari kepentingan masyarakat terutama masyarakat miskin yang tidak berdaya. BKM terbentuk bukan sebagai lembaga yang modern dan bukan
pula sebuah lembaga yang profit orientied yang selalu mengejar keuntungan. Tapi
nampaknya sekarang sudah terjadi pergeseran dimana BKM sebagai organisasi
masyarakat yang masyarakatnya sendiri tumbuh dan berkembang dengan cara-cara
tradisional dipaksa untuk menjadi masyarakat yang katanya adalah masyarakat
modern. Sejarah terulang kembali ketika Orde Baru membentuk KUD, yang terjadi
adalah menguatnya lembaga yang moderen dengan berbagai perangkat administrasi
yang begitu njelimet. Pertanyaannya adalah apakah prasyarat serta prakondisinya
sudah siap untuk melakukan ”Transformasi Sosial” dari masyarakat tradisionil
menuju masyarakat yang modern? Apakah kultur dan nature sudah mendukung untuk
”Transformasi Sosial”? Gerak perkembangan masyarakat tidak lepas dari bagaimana
masyarakat memikul dan dipikul nature. Kalau proses pendampingan hanya
sebatas pembenahan administrasi belaka, selamanya tidak akan terpenuhi
prasyarat serta prakondisinya karena masyarakat tidak sempat untuk berpikir
secara kritis. Masyarakat menjadi bodoh dan buntu dalam berpikir menghadapi
persoalan-persoalan yang ada di desanya karena hanya disibukkan oleh persoalan
administrasi saja. Kalau masyarakat sudah buntu untuk berpikir secara kritis,
maka Transformasi sosial tidak mungkin bisa terjadi. Andaikata terjadi hanyalah
transformasi sosial yang berifat permukaan saja, dari organisasi yang dianggap
tradisionil menjadi moderen dengan berbagai macam perangkat organisasinya yang
begitu njelimet serta ruwet oleh adminitrasi tetapi belum bisa menyentuh pokok
persoalan kemiskinan yang ada.
KESIMPULAN
BKM dibentuk bukan sebagai sebuah
organisasi modern tetapi sebagai sebuah paguyuban yang merupakan korporasi
sosial untuk bisa bergerak bersama-sama dengan masyarakat dan seluruh komponen
yang ada sehingga BKM lebih merupakan reprsentasi dari kepentingan masyarakat
terutama masyarakat miskin yang tidak berdaya. BKM terbentuk bukan sebagai
lembaga yang modern dan bukan pula sebuah lembaga yang profit orientied yang
selalu mengejar keuntungan. Tapi nampaknya sekarang sudah terjadi pergeseran
dimana BKM sebagai organisasi masyarakat yang masyarakatnya sendiri tumbuh dan
berkembang dengan cara-cara tradisional dipaksa untuk menjadi masyarakat yang
katanya adalah masyarakat modern. Sejarah terulang kembali ketika Orde Baru
membentuk KUD, yang terjadi adalah menguatnya lembaga yang moderen dengan
berbagai perangkat administrasi yang begitu njelimet. Pertanyaannya adalah
apakah prasyarat serta prakondisinya sudah siap untuk melakukan ”Transformasi
Sosial” dari masyarakat tradisionil menuju masyarakat yang modern? Apakah
kultur dan nature sudah mendukung untuk ”Transformasi Sosial”? Gerak
perkembangan masyarakat tidak lepas dari bagaimana masyarakat memikul
dan dipikul nature. Kalau proses pendampingan hanya sebatas pembenahan
administrasi belaka, selamanya tidak akan terpenuhi prasyarat serta
prakondisinya karena masyarakat tidak sempat untuk berpikir secara kritis.
Masyarakat menjadi bodoh dan buntu dalam berpikir menghadapi
persoalan-persoalan yang ada di desanya karena hanya disibukkan oleh persoalan
administrasi saja. Kalau masyarakat sudah buntu untuk berpikir secara kritis,
maka Transformasi sosial tidak mungkin bisa terjadi. Andaikata terjadi hanyalah
transformasi sosial yang berifat permukaan saja, dari organisasi yang dianggap
tradisionil menjadi moderen dengan berbagai macam perangkat organisasinya yang
begitu njelimet serta ruwet oleh adminitrasi tetapi belum bisa menyentuh pokok
persoalan kemiskinan yang ada di Indonesia tercinta ini.
Yang perlu dijelaskan adalah, format
PROPOSAL, RAB dan LPJ yang sudah dibakukan tersebut sebenarnya memakai standar
kemampuan siapa? Apakah disesuaikan
dengan standar kemampuan masyarakat atau standar konsultan? Kalau standar yang
dipakai adalah standar kemampuan masyarakat, masyarakat yang mana? Masyarakat
Jakarta........, Aceh......., Padang......, atau Papau........., atau
masyarakat yang mana.........??? Masyarakat
Desa atau Kota, Masyarakat Miskin atau
Elite....??? Kalau format baku yang dibuat berdasarkan kemampuan masyarakat
kota dan elite yang sudah terbiasa dengan budaya tulis menulis mungkin mereka
(masyarakat kota atau elite) akan mampu untuk mengaplikasikannya, itu saja
mungkin hanya sebagian kecil masyarakat kota atau elite yang bisa/mampu serta
mau. Apalagi bagi masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan apakah akan mampu
mengaplikasikannya? Masyarakat desa sudah terbiasa dengan kerja-kerja kasar
menjadi tukang becak, menjadi tani dan buruh tani, menjadi buruh angkut di
pasar, dan lain sebagainya tentunya tidak bisa dipaksakan dengan kerja-kerja
yang administrasi yang terlalu njelimet. Mereka tidak terbiasa dengan budaya
tulis menulis karena alam telah mendidik mereka dengan kerja-kerja kasar di
lapangan dan tidak pernah dididik untuk kerja-kerja di perkantoran, instansi, lembaga,
dll. Yang lebih parah lagi adalah jika format LPJ KSM didasarkan atas kemampuan
konsultan yang notabenenya adalah kaum intelektual yang sudah terbiasa dengan
budaya berpikir dan tulis menulis. Kaum intelektual yang sudah terbiasa dan
tidak asing dengan komputer, laptop, HP, kalkulator, bolpoin, pensil dll. Tapi
bagi masyarakat? Apakah mereka juga sudah terbiasa dengan kerja-kerja seperti
para konsultan? Jika memang benar kacamata yang dipakai adalah kacamata para
konsultan, ada dua hal yang seharusnya tidak terjadi :
1. Masyarakat hanya akan bergantung pada fasilitator karena mereka merasa
tidak mampu untuk mengerjakannya. Kalau masyarakat sudah mengalami
ketergantungan kepada fasilitator, maka selamanya masyarakat akan selalu bodoh
dan tidak akan pernah berdaya apalagi mandiri.
2.
Fasilitator yang
seharusnya berperan sebagai pendorong masyarakat untuk bekerja dan bergerak,
tetapi malah justru dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pekerja. Kalau posisi
fasilitator sudah bergeser menjadi pekerja bagi masyarakat, maka tidak menutup
kemungkinan akan terjadi pergeseran fungsi pemberdayaan ke arah komersialisasi proses
pendampingan.
REKOMENDASI
1. Tipologi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dengan
berbagai macam kultur dan budayanya sehingga persoalan yang terjadi di
masyarakat sangatlah komplek sifatnya, maka tidak bisa mengeneralisasi suatu
keadan, sehingga butuh strategi dan pendekatan yang berbeda dalam
menangani persoalan yang terjadi antara daerah yang satu dengan daerah yang
lainnya. Kebijakan yang sifatnya sentralistis hendaknya di desentralisasikan di
tingkat Koordinator Kabupaten / Kota. Masyarakat hendak berkreasi dalam proses
perencanaan dengan berbagai macam kreatifitasnya tetapi ketika ada kebijakan
bahwa format PROPOSAL, RAB dan LPJ ditentukan dari pusat dan masyarakat dipaksa
untuk mengikuti Format Standar RAB yang dibakukan. Hal ini justru membunuh
karakter masyarakat.
2. Proses penggalian data sangatlah perlu untuk melakukan analisis terhadap
perkembangan organisasi yang terbangun di masyarakat (BKM dan UP-UP). Tetapi
hendaknya jangan terjebak pada persoalan-persoalan administrasi belaka karena
hanya akan mereduksi langkah gerak pendampingan untuk sebuah perubahan sosial
menuju pada sebuah tatanan sosial yang madani (civil society).
3. Aktifitas Tim Fasilitator di lapangan sangatlah menentukan arah BKM
kedepan, untuk itu perkuat aktifitas di lapangan. Belajar dan bekerja bersama
masyarakat akan bisa lebih memahami kondisi riil yang ada.
Kenalkan PRODUKMU pada DUNIA
Maka DUNIA akan mengenal PRODUKMU
Ingin pasarkan PRODUKMU…?
Ingin iklan GRATIS…?
Kontrak Iklan SELAMANYA…?
Kirimkan artikel produkmu di
Melalui email :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar